Sejak SMP dulu, jika
ditanya apa cita-citamu, saya mantap menjawab, “ Jadi guru!”. Padahal di tahun
92-93an itu, jadi guru belumlah jadi profesi yang dianggap keren. Saya ingat,
waktu itu diantara teman sekelas, saya sendirian yang ‘ngacung’ pertamakali untuk pertanyaan siapa yang ingin jadi guru. Teman-teman sekelas saat SMP
cenderung mengingat ini. Maka panggilan saya kadang ‘Propesor’ atau ‘Bu guru’.
Saya sebenarnya tahu kalau panggilan seperti itu membuat saya semakin tampak cupu
dengan kacamata minus besar bertengger di hidung yang tak mancung. Tapi saya
tetap bangga dengan cita-cita itu.
Saat SMA, guru PPkn saya ingat bahwa dulu beliau sering
menyuruh saya menerangkan beberapa bagian dari pembelajaran ke depan kelas. Dan
saya melakukannya dengan senang hati. Itu saya dengar saat lima tahun kemudian
saya mengajar bersamanya. Saat SMA dulu pun saya sudah aktif membantu bapak
saya mengajar Kejar Paket B di sebuah SD diatas gunung dekat Waduk Gajah
Mungkur, SD Perampelan 3. Dan saya ingat saya melakukannya dengan suka cita.
Mengapa ingin jadi guru? Mungkin karena memang keluarga
besar saya adalah guru. Embah, dan Bapak Ibu saya adalah guru SD. Tetapi seiring jalannya waktu saya semakin
merasa nyaman berprofesi sebagai guru. Ini alasannya.
Jadi Guru Itu Bikin Awet Muda
Haha, No Hoax lho. Ini buktinya. Saat perayaan ulang tahun
SMA N 2 Wonogiri yang ke 45, Kamis 24 Januari 2019 kmaren, saya bertemu dengan
guru-guru semasa SMA saya yang juga diundang mendatangi acara jalan santai pagi
itu. Kebetulan saya kan setelah lulus kuliah mengajar dan diangkat menjadi ASN
di SMA saya dulu itu. Wah, bisa dibilang hampir sebagian besar guru saya yang
sudah purna tugas itu tampak lebih segar dibanding umur mereka.
Bersama Pak Joko dan Bu Lilik |
Kemudian yang satu ini, beliau adalah pak Sukirso, guru
sosiologi saya. Sudah lama purna, tapi
tetap segar ceria saja. Dulu saat mengajar pun pak Kirso ini kerap menjadi guru
idola karena sangat ramah dan sabar meski mulang anak IPS yang terkenal sebagai
ikatan pelajar santai.
Berfoto dengan guru
Bahasa Inggris saya, Pak Narso sungguh merupakan kebangaan.Beliau sudah semacam
jadi suhu – guru besar-nya kami para pengajar Bahasa Inggris di SMA 2 saat ini Di ujung kanan yang melambaikan tangan, ada Bu Warti, guru BP yang dulu memantapkan saya memilih jurusan
Bahasa Inggris selepas SMA. Jalur undangan yang dia pilihkan. Alhamdulillah
saya keterima PMDK UNNES. Saya pun tinggal duduk manis tak perlu repot cari
tempat kuliah.
Bu Nunuk berkerudung abu-abu di tengah |
Ini ada juga guru-guru SMA saya lainnya. Ada Bu Nunuk guru sejarah yang membuat saya jatuh cinta setengah mati pada Majapahit. Saat ulangan, suaranya selalu lantang mengingatkan 'KAKI KURSI LURUS KAKI MEJA!'. Beliau cukup keras untuk menegakkan kedisiplinana dan kejujuran saat test. Selain itu ada Bu Karni, mantan guru akuntansi, yang ingin saya contoh akan lantang gaya mengajarnya, dan Bu Retno Haryuni , guru PPkn yang selalu ramah, dan Bu Endang, guru kimia, yang humble meskipun dari kalangan yang cukup berada. Doa tulus menyertai mereka.
Tuh kan terbukti, menjadi guru membuat awet muda. Bahkan
saat sekian lama purna tugas.
Ikut Bahagia Saat Siswa Memperoleh Kesuksesan
“Bu, ini musim salju di Turki. Ini saya buat orang-orangan
salju untuk Bu Dewi.” Sebuah caption dibawah foto dari Sulih, siswa lulusan SMA
2 yang mendapat beasiswa di Turki. Sekarang dia sudah lulus dan sedang merintis
karirnya di tanah air. Saya memang tidak pernah ke luar negeri, bepergian jauh
saja tak sering, apalagi menyentuh salju. Tapi saat mantan murid menceritakan
itu, cesss, seolah-olah itu saya sendiri yang menyentuh saljunya.
Begitu pula saat murid memperoleh nilai bagus, memenangkan
perlombaan atau berhasil di suatu bidang, rasanya guru bisa ikut bangga
berlipat-lipat. Bahagia rasanya jika murid berhasil selepas lulus sekolah. Ada yang pernah bilang bahwa anak saya itu ada
dimana saja.Mulai dari pelosok pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia sampai
luar negeri. Itulah untungnya jadi guru, anaknya buanyaaak. Dan seperti
selayaknya ibu lainnya, saya bangga sekali dengan murid-murid saya.
“Tapi saya hanya jadi ibu rumah tangga biasa, Bu,” Keluh
seorang ibu muda yang dulu lulusan sekolah kami. Heii..bukankah dulu di kelas
acap kali saya bilang, jadi apapun itu asal halal dan baik, sapalah bu gurumu
ini di jalan. Bagi saya jadi ibu rumah tangga tetaplah membanggakan asal dia
jadi berusaha jadi ibu yang terhebat untuk anak-anaknya. Jadi penjaga konter HP
pun tetap membanggakan selama itu membuatnya jadi karyawan yang jujur dan baik
hati.
Bisa Belajar Dari Muridnya
Menjadi guru, membuat saya bertemu dengan beragam kehidupan
murid. Dan kadang saya lah yang belajar dari mereka.
Ada yang membuat saya terharu karena ternyata si anak itu
memilih hidup dengan ibunya yang stroke. Setia merawat ibunya meski ditawari
ikut ayahnya yang bekerja di kota besar. Dan itu anak laki-laki usia
tujuhbelasan. Sungguh besar hatimu, nak. Saya belajar untuk lebih menghargai
orang tua saya sendiri dari kisahnya.
Hidupnya harusnya berkeping-keping saat sebuah kecelakaan
membuat sebelah kakinya diamputasi selutut. Tapi tidak untuk Ikhsan. Ditengah
rasa sakitnya, dia berusaha pulih, dan tetap aktif nyambi nyantri sepulang dari
SMA. Cara dia bersalaman dengan guru pun sering membuat mata saya tiba-tiba
basah. Dia cium punggung tangan gurunya dengan penuh rasa takzim dan penghargaan
yang tulus. Kadang saya malu dengan kegigihannya. Saya pun berjanji akan
memperlakukan guru-guru saya setakzim Ikhsan menyalami gurunya.
Seorang siswi yang sangat berprestasi tiba-tiba berulah.
Membuat telinga panas dan menguji kesabaran saya. Rasanya ingin menampar
kesadarannya biar dia terbangun. Kembali jadi murid hebat yang dulu paling saya
banggakan di kelas untuk pelajaran saya. Ah, ternyata penilaian saya masih
terlalu dangkal. Persepsi saya berubah saat mendengar pemaparan dari guru
agamanya, yang telah menyempatkan mengunjungi rumahnya dan bicara dari hati ke
hati. Si anak itu berlaku begitu itu kan ada sebabnya. Dan itu berkaitan dengan
keluarganya yang kurang harmonis. Bahwa ayahnya berlaku keras dan kadang ada
KDRT adalah fakta lain yang membuka mata saya. Saya pun belajar untuk
berikhtiar mengupayakan keluarga yang harmonis untuk anak-anak saya di rumah,
hingga semoga karakter mereka terjaga dengan baik saat diluar sana.
Saya pun belajar sebuah keikhlasan tingkat tinggi dari
mantan murid saya yang bernama Ahmad Anthoni almarhum. Di tengah rasa sakitnya
melawan penyakit lupus yang menggerogoti bagian demi bagian tubuhnya, dia
berujar bahwa sakitnya akan dia jadikan ladang ibadah. Selalu optimis berusaha sekuat tenaga hingga akhir hayatnya.
Ya, saya adalah guru. Dan saya bangga karenanya. Saya sangat
bersyukur Allah memudahkan saya menjadi seorang guru. Mungkin saya tidak bisa
jadi pimpinan perusahaan sehebat anda. Atau tak cakap jadi seorang manager
pemasaran ternama. Meski jadi guru mungkin tak membuat saya jadi kaya raya atau
terkenal sejagad raya. Tetapi saya tahu pasti, di depan saya masih ada jalan
panjang bermil - mil jaraknya untuk saya bisa berusaha menjadi guru yang lebih baik dari hari ke
hari. Seperti kata pujangga kesukaan saya
Robert Frost dalam puisinya; ‘and miles to go before I sleep. And miles to go
before I sleep.’
Bahagia itu mengerjakan apa yang kita cintai dan kita mencintai apa yang kita kerjakan. Do
What You Love & Love What You Do!
Bagaimana, apakah anda juga cukup mencintai profesi
anda saat ini?