Menjadi korban bullying itu tidak enak. Menyesakkan dada. Apalagi terjadinya di sekolah idaman favorit. (Hal.100)
Itu adalah curahan hati seorang anak remaja yang menjadi tokoh utama di buku yang sedang saya baca. Sebuah buku yang ditulis dengan sepenuh hati oleh seorang bunda istimewa dari Bekasi. Bunda Is saya menyebutnya, nama lengkapnya adalah Madaniyah Isfandriati.
Bunda mana yang tidak sedih ketika kemudian putra kesayangan itu menyatakan mogok sekolah SMA. Mau jadi apa anak itu nanti? Apakah masih ada kesempatan untuknya bermimpi setinggi bintang? Untuk seluruh kisah yang akan menjawab tanya itulah, buku ini diawali dengan judul :
JANGAN BERHENTI BERMIMPI.
Miris. Sekolah yang harusnya menjadi tempat belajar malah menjadi salah satu arena tumbuhnya bullying. Dua belas pelajar putri telah begitu tega menyakiti secara ejekan maupun kekerasan fisik terhadap seorang gadis remaja lain. Kita harusnya bisa belajar dari kasus ini.
Di dalam buku bersampul biru inipun, ada secuil kisah bullying yang kemudian menjadi titik balik. Menjadi momen dimana anak tersebut, dan keluarganya, harus berhenti sejenak dan memikirkan langkah apa yang kemudian harus ditempuh agar pendidikan si anak tidak berhenti ditengah jalan. Sebuah masa yang berat untuk dilalui.
Bullying memang tidak harus dalam bentuk ditampar, dipukul atau disakiti secara fisik. Bullying bisa juga dalam bentuk memaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiran atau perasaan seseorang. Inilah yang dirasakan Andri, si tokoh utama dalam buku ini.
Saat masa orientasi siswa masuk SMA, dia merasa terluka saat dipaksa dengan kasar oleh kakak senior memakan sayur sop yang sudah mereka tuangi air mineral. Bayangkan saja bagaimana enegnya. Itu hanya karena sop yang dibawa Andri ke sekolah hari itu kuahnya tumpah. Terburu buru berangkat saat MOS membuat tutup wadahnya kurang rapat.
Sebuah kesalahan yang tidak disengaja dihukum dengan perlakuan begitu keras tanpa konfirmasi. Yes, that's a kind of bullying.
Ah, apa susahnya sih makan sopnya. Mungkin bagi beberapa anak , itu hal yang bukan masalah besar, tapi bagi anak tertentu cara makan dengan diperlakukan seperti itu bisa sangat melukai harga dirinya. Bukan masalah makannya. Tapi lebih karena kekasaran berlebih atas suatu kesalahan yang bukan disengaja.
Waktu itu bullying bahkan bisa masuk dalam sebuah kegiatan resmi sekolah atas nama MOS; Masa Orientasi Siswa.
Bersyukur MOS sekarang sudah berubah bentuknya. Kekerasan fisik sudah tidak diperbolehkan. Kata-kata teriakan kasar dan perintah yang mengada-ada dan tidak mendidik harus dihapuskan. Sekarang saat MOS, sekolah harus mengadakan kegiatan yang bersifat mendidik. Melatih siswa untuk tertib dan disiplin boleh, tapi tidak dengan cara yang kasar. Memang kegiatan sekolah harusnya bebas bullying.
Bagi Mas Andri, masalah yang dialaminya saat MOS itu ditambah dengan beratnya tuntutan padatnya kegiatan sebuah sekolah favorit. Semakin tak nyaman hatinya. Ditambah kemudian perlakuan seorang guru kembali menyakiti perasaannya. Bagi Andri, it can be another kind of bullying.
Yah, memang di beberapa kasus, guru kadang memang bisa ikut merasa terbebani dari tuntutan sekolah demi mengejar tumpukan prestasi akademik. Hati-hati, inilah celah yang bisa saja menimbulkan bullying dari pihak guru kepada siswa.
Saya sendiri guru, saya juga kadang merasa bisa terbebani saat sekolah menekankan untuk terus berusaha mempertahankan prestasi akademik seluruh murid untuk terus berada di puncak. Jangan sampai kalah dengan sekolah lain. Padahal namanya juga murid, tiap tahun juga berubah. Kemampuan murid – murid tahun ini bisa berbeda dengan murid-murid tahun sebelumnya.
Kalau tidak disabar-sabarkan , yang bisa muncul adalah umpatan verbal yang membodoh-bodohkan si murid yang terlihat lamban mengejar prestasi. Kalau tidak berkepala dingin, yang bisa tampak adalah bullying berupa ejekan terhadap karya murid yang tidak sejalan dengan mau si guru atau sekolah.
Tokoh Andri dalam karya ini kembali terluka saat guru keseniannya berkata yang tidak semestinya atas karya musiknya. Memang karya Andri mungkin tidak sesuai dengan pakem yang dimaui guru atau tidak pas dengan tuntutan kurikulum seni saat itu. Akan tetapi, tetap saja saat guru, sebagai orang dewasa, kemudian memojokkan begitu saja tanpa memberi kesempatan pada si anak untuk menjelaskan, itu bisa saja sebuah bentuk bullying yang lain disekolah.
Bullying di sekolah bisa berkesempatan muncul di berbagai lini sekolah. Dan jika terjadi, itu bisa saja menghancurkan harga diri seorang siswa. Tujuan untuk mendidik anak agar mau belajar pun menjadi sia-sia. Tak tercapai.
Salah satunya adalah kemudian si anak mogok sekolah. Inilah yang kemudian terjadi pada Andri.
Ayah bundanya tergagap saat Andri menyatakan mogok sekolah SMA. Bahkan untuk bangkit dari tidurpun, Andri mesti ‘perang’ dulu dengan diri sendiri. Berangkat sekolah menjadi beban yang sangat berat bagi dirinya. Beruntung ayah bundanya masih bisa bersabar menghadapinya. Beruntung dia kemudian tidak terjerumus ke pergaulan yang buruk. Beruntung kemudian anak ini diarahkan oleh Ayah Edy , seorang pakar parenting terkenal itu.
Andri kemudian beralih ke HS – Home Schooling. Tapi tahun itu, 2009, HS belum menjadi hal yang berterima luas seperti sekarang. HS terlihat sebagai anak yang tidak sekolah. Cibiran berikutnya diterimanya, “Masa bundanya pegawai kantoran lulusan UGM, Bapaknya juga pegawai negeri berpangkat tinggi, S3 pula – anaknya kok ga sekolah.” (hal.104)
Tetapi ayah bundanya sepakat untuk menutup telinganya seolah-olah tak mendengar. Keluarga itu terus belajar bersabar dan mengabaikannya. Apalagi kemudian kedua adik Andri juga mengikuti jejaknya untuk HS. Bundanya pun kemudian sampai resign dari pekerjaan mapannya. Salah satu tujuannya adalah tentu saja untuk lebih membersamai Andri dan adiknya.
Dalam hati Andri bertekad, bahwa 4 – 5 tahun lagi , dia akan bisa membuktikan bahwa dia akan berhasil, walaupun bukan dengan jalur sekolah formal. Kuliah di Jepang adalah cita-citanya. Menjadi seorang ahli peneliti terumbu karang terbaik di dunia. Demi impian untuk menjaga terumbu karang di lautan Indonesia agar menjadi tempat bernaungnya ikan dan segala ekosistem laut. (hal. 10)
Tapi perjalanan untuk meraih mimpi mendapat beasiswa kuliah di Jepang tidak mudah. Itulah yang kemudian diceritakan lebih lanjut di buku ini. Akan lebih nges jika anda baca sendiri kisahnya melalui kalimat kalimat sederhana yang tertutur di buku ini.
Artikel tentang JW dapat anda baca disini :
Menulis-adalah-sedekah.html
Tahun lalu, seingat saya sekitar setelah Idul Fitri, saya berkesempatan bertemu dengan Bunda Is dan suaminya, Bapak Supra serta salah satu putranya. Acara itu dilaksanakan di Hotel Aziza Solo, digagas oleh beberapa anggota komunitas JW di Solo. Beruntung saya bisa datang, setelah berhasil membujuk adik saya untuk membantu momongke kedua krucil saya. Soalnya kalau diajak, saya yakin kedua anak saya itu paling ndak betah duduk lama dan rewel.
Acara itu berlangsung dengan hangat, itu karena memang keluarga itu humble banget. Tidak mau dianggap pemateri, Bunda Is dan Bapak Supra bergantian berbicara, dengan konsep sharing.
Bincang-bincang hangat mengenai pengalaman mereka membesarkan ketiga putra mereka melalui HS. Tapi mereka bukannya antipati sekolah formal lho. Hanya saja kebutuhan dan keadaanlah yang membuat mereka memutuskan HS sebagi sarana belajar putra-putra mereka.
Kisah mas Andri ini sebagian sudah diceritakan dan juga dituliskan di buku pertama. Tetapi buku kedua ini tidaklah sama konsepnya dengan buku pertama. Dan ini pendapat saya mengenai buku ini.
Seorang pereview katanya sebaiknya bisa mengupas positif dan negatif nya suatu buku. Baiklah, sebagai pereview yang ingin dikatakan baik, hehe, saya sampaikan dulu hal yang kurang sreg dari buku ini. Maaf ya Bunda Is, saya menemukan beberapa typo di buku ini. Misanya kata biaya terketik menjadi biayah, kata bayar terketik bayahr, atau terketik Alhmdulillah. Haha .. rewel banget sih ya saya. Maklum ya bund, saya kan guru bahasa, kerjaannya mengamati dan mencari kesalahan tulisan siswa. Tapi typonya tidak sampai fatal mengganggu arti keseluruhan teks kok. Hanya saja akan lebih perfect jika typonya tidak ada sama sekali.
Dibalik keluhan remeh saya itu. Saya cukup terkejut dengan pilihan alur terbalik yang dipilih Bunda Is di buku kedua ini.
Jadi tidak dikisahkan dari mulai awal mula kecilnya mas Andri sampai besar. Ceritanya malah bermula dari kegelisaha Andri dulu dalam memperoleh beasiswa kuliah di Jepang. Lalu bab bab berikutnya tentang menyelesaikan skripsi, pengalamannya HS, masa SMA dan SMP, SD dan masa kecilnya. Jadi di tengah jalan, kita bisa ber ‘Oooo tadinya begini to’. Dan itu - Menarik. Jadi tidak membosankan.
Kalau di buku pertama, Bunda Is, menulis dengan menempatkan diri sebagai ibu. Di buku kedua setebal 146 halaman ini, Bunda Is ajaibnya memilih menempatkan diri dari sudut pandang si anak, sebagai tokoh ‘aku’ yang mengacu pada Mas Andri.
Memilih sudut pandang ini menurut saya membuat buku ini menjadi lebih kuat. Kita merasa dituturkan langsung oleh si tokoh utamanya. Dan seperti obrolan di dunia nyata, kisah yang diceritakan langsung oleh pelakunya kadang jadi terasa lebih istimewa.
Jika ingin memiliki buku ini, anda bisa berhungan langsung dengan penulisnya lewat Facebook dengan nama akun Madaniyah Isfandriati. Saya yakin beliau akan menyapa dengan ramah dan hangat. Memang begitulah beliau biasa bertutur kata. Buku Jangan Berhenti Bermimpi ini diterbitkan secara indie lewat penerbit Edwrite Publishing.
Kisah di buku ini adalah berdasar kisah nyata putra sulung Bunda Is yang bernama Andri. Sekarang Mas Andri ini sedang melanjutkan study di Kyusu University Fukuoka Jepang dengan beasiswa. Sesuai dengan passionnya, belajar tentang konservasi terumbu karang.
Meskipun tidak mudah, Andri telah berhasil mencoba bangkit melawan keterpurukan. Mencoba menatap masa depan yang tak sesuram bayangannya dulu. Untuk detail kisahnya, silahkan anda nikmati sendiri buku ini halaman demi halamannya.
Siapa tahu sikap atau tutur kata saya itu ada yang berlebihan sehingga terasa menjadi bullying bagi sebagian siswa. Karena siswa-siswa itu pada dasarnya kan anak-anak yang unik , berbeda karakternya. Apalagi, guru dan sekolah sekarang juga semakin didorong untuk melakukan Penerapan Pendidikan Karakter di sekolah. Guru dan sekolah harusnya selalu membuka komunikasi terbaik dua arah dengan orang tua siswa untuk membangun karakter baik siswa.
Pada akhirnya, kita semua sungguh berharap tidak ada lagi siswa yang melakukan bullying atau perundungan. Kisah Audrey maupun kasus bullying lainnya semoga tidak terjadi lagi pada remaja-remaja, apalagi di sekolah.
Semoga sekolah bisa merangkul siswa-siswanya untuk bisa saling menghormati dan sayang teman. Tiap sekolah akan bisa menjadi rumah kedua anak-anak kita yang bebas dari bullying. Sehingga anak –anak kita itu akan bisa mencari cara terbaik untuk menemukan dan mengasah bakatnya. Untuk tidak berhenti bermimpi. Karena masa depan adalah milik mereka yang percaya akan indahnya impian.
Itu adalah curahan hati seorang anak remaja yang menjadi tokoh utama di buku yang sedang saya baca. Sebuah buku yang ditulis dengan sepenuh hati oleh seorang bunda istimewa dari Bekasi. Bunda Is saya menyebutnya, nama lengkapnya adalah Madaniyah Isfandriati.
Bunda mana yang tidak sedih ketika kemudian putra kesayangan itu menyatakan mogok sekolah SMA. Mau jadi apa anak itu nanti? Apakah masih ada kesempatan untuknya bermimpi setinggi bintang? Untuk seluruh kisah yang akan menjawab tanya itulah, buku ini diawali dengan judul :
JANGAN BERHENTI BERMIMPI.
Bullying Menjadi Titik Balik
Akhir – akhir ini media disekitar kita diramaikan oleh berita mengenai kasus bullying atau perundungan yang dialami dan dilakukan oleh remaja. Tagar saveaudrey terus menjadi trending topic sepekan ini.Miris. Sekolah yang harusnya menjadi tempat belajar malah menjadi salah satu arena tumbuhnya bullying. Dua belas pelajar putri telah begitu tega menyakiti secara ejekan maupun kekerasan fisik terhadap seorang gadis remaja lain. Kita harusnya bisa belajar dari kasus ini.
Di dalam buku bersampul biru inipun, ada secuil kisah bullying yang kemudian menjadi titik balik. Menjadi momen dimana anak tersebut, dan keluarganya, harus berhenti sejenak dan memikirkan langkah apa yang kemudian harus ditempuh agar pendidikan si anak tidak berhenti ditengah jalan. Sebuah masa yang berat untuk dilalui.
Bullying memang tidak harus dalam bentuk ditampar, dipukul atau disakiti secara fisik. Bullying bisa juga dalam bentuk memaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiran atau perasaan seseorang. Inilah yang dirasakan Andri, si tokoh utama dalam buku ini.
Saat masa orientasi siswa masuk SMA, dia merasa terluka saat dipaksa dengan kasar oleh kakak senior memakan sayur sop yang sudah mereka tuangi air mineral. Bayangkan saja bagaimana enegnya. Itu hanya karena sop yang dibawa Andri ke sekolah hari itu kuahnya tumpah. Terburu buru berangkat saat MOS membuat tutup wadahnya kurang rapat.
Sebuah kesalahan yang tidak disengaja dihukum dengan perlakuan begitu keras tanpa konfirmasi. Yes, that's a kind of bullying.
Ah, apa susahnya sih makan sopnya. Mungkin bagi beberapa anak , itu hal yang bukan masalah besar, tapi bagi anak tertentu cara makan dengan diperlakukan seperti itu bisa sangat melukai harga dirinya. Bukan masalah makannya. Tapi lebih karena kekasaran berlebih atas suatu kesalahan yang bukan disengaja.
Waktu itu bullying bahkan bisa masuk dalam sebuah kegiatan resmi sekolah atas nama MOS; Masa Orientasi Siswa.
Bersyukur MOS sekarang sudah berubah bentuknya. Kekerasan fisik sudah tidak diperbolehkan. Kata-kata teriakan kasar dan perintah yang mengada-ada dan tidak mendidik harus dihapuskan. Sekarang saat MOS, sekolah harus mengadakan kegiatan yang bersifat mendidik. Melatih siswa untuk tertib dan disiplin boleh, tapi tidak dengan cara yang kasar. Memang kegiatan sekolah harusnya bebas bullying.
Bagi Mas Andri, masalah yang dialaminya saat MOS itu ditambah dengan beratnya tuntutan padatnya kegiatan sebuah sekolah favorit. Semakin tak nyaman hatinya. Ditambah kemudian perlakuan seorang guru kembali menyakiti perasaannya. Bagi Andri, it can be another kind of bullying.
Yah, memang di beberapa kasus, guru kadang memang bisa ikut merasa terbebani dari tuntutan sekolah demi mengejar tumpukan prestasi akademik. Hati-hati, inilah celah yang bisa saja menimbulkan bullying dari pihak guru kepada siswa.
Saya sendiri guru, saya juga kadang merasa bisa terbebani saat sekolah menekankan untuk terus berusaha mempertahankan prestasi akademik seluruh murid untuk terus berada di puncak. Jangan sampai kalah dengan sekolah lain. Padahal namanya juga murid, tiap tahun juga berubah. Kemampuan murid – murid tahun ini bisa berbeda dengan murid-murid tahun sebelumnya.
Kalau tidak disabar-sabarkan , yang bisa muncul adalah umpatan verbal yang membodoh-bodohkan si murid yang terlihat lamban mengejar prestasi. Kalau tidak berkepala dingin, yang bisa tampak adalah bullying berupa ejekan terhadap karya murid yang tidak sejalan dengan mau si guru atau sekolah.
Tokoh Andri dalam karya ini kembali terluka saat guru keseniannya berkata yang tidak semestinya atas karya musiknya. Memang karya Andri mungkin tidak sesuai dengan pakem yang dimaui guru atau tidak pas dengan tuntutan kurikulum seni saat itu. Akan tetapi, tetap saja saat guru, sebagai orang dewasa, kemudian memojokkan begitu saja tanpa memberi kesempatan pada si anak untuk menjelaskan, itu bisa saja sebuah bentuk bullying yang lain disekolah.
Bullying di sekolah bisa berkesempatan muncul di berbagai lini sekolah. Dan jika terjadi, itu bisa saja menghancurkan harga diri seorang siswa. Tujuan untuk mendidik anak agar mau belajar pun menjadi sia-sia. Tak tercapai.
Salah satunya adalah kemudian si anak mogok sekolah. Inilah yang kemudian terjadi pada Andri.
Ayah bundanya tergagap saat Andri menyatakan mogok sekolah SMA. Bahkan untuk bangkit dari tidurpun, Andri mesti ‘perang’ dulu dengan diri sendiri. Berangkat sekolah menjadi beban yang sangat berat bagi dirinya. Beruntung ayah bundanya masih bisa bersabar menghadapinya. Beruntung dia kemudian tidak terjerumus ke pergaulan yang buruk. Beruntung kemudian anak ini diarahkan oleh Ayah Edy , seorang pakar parenting terkenal itu.
Andri kemudian beralih ke HS – Home Schooling. Tapi tahun itu, 2009, HS belum menjadi hal yang berterima luas seperti sekarang. HS terlihat sebagai anak yang tidak sekolah. Cibiran berikutnya diterimanya, “Masa bundanya pegawai kantoran lulusan UGM, Bapaknya juga pegawai negeri berpangkat tinggi, S3 pula – anaknya kok ga sekolah.” (hal.104)
Tetapi ayah bundanya sepakat untuk menutup telinganya seolah-olah tak mendengar. Keluarga itu terus belajar bersabar dan mengabaikannya. Apalagi kemudian kedua adik Andri juga mengikuti jejaknya untuk HS. Bundanya pun kemudian sampai resign dari pekerjaan mapannya. Salah satu tujuannya adalah tentu saja untuk lebih membersamai Andri dan adiknya.
Dalam hati Andri bertekad, bahwa 4 – 5 tahun lagi , dia akan bisa membuktikan bahwa dia akan berhasil, walaupun bukan dengan jalur sekolah formal. Kuliah di Jepang adalah cita-citanya. Menjadi seorang ahli peneliti terumbu karang terbaik di dunia. Demi impian untuk menjaga terumbu karang di lautan Indonesia agar menjadi tempat bernaungnya ikan dan segala ekosistem laut. (hal. 10)
Tapi perjalanan untuk meraih mimpi mendapat beasiswa kuliah di Jepang tidak mudah. Itulah yang kemudian diceritakan lebih lanjut di buku ini. Akan lebih nges jika anda baca sendiri kisahnya melalui kalimat kalimat sederhana yang tertutur di buku ini.
Review Buku ‘Jangan Berhenti Bermimpi’
Saya sudah membaca buku Bunda is yang pertama, yang berjudul ‘ Rumahku Sekolahku.’ Kebetulan kami tergabung di group kepenulisan yang sama; Jenius Writing , atau yang biasa disingkat JW.Artikel tentang JW dapat anda baca disini :
Menulis-adalah-sedekah.html
Tahun lalu, seingat saya sekitar setelah Idul Fitri, saya berkesempatan bertemu dengan Bunda Is dan suaminya, Bapak Supra serta salah satu putranya. Acara itu dilaksanakan di Hotel Aziza Solo, digagas oleh beberapa anggota komunitas JW di Solo. Beruntung saya bisa datang, setelah berhasil membujuk adik saya untuk membantu momongke kedua krucil saya. Soalnya kalau diajak, saya yakin kedua anak saya itu paling ndak betah duduk lama dan rewel.
Acara itu berlangsung dengan hangat, itu karena memang keluarga itu humble banget. Tidak mau dianggap pemateri, Bunda Is dan Bapak Supra bergantian berbicara, dengan konsep sharing.
Bincang-bincang hangat mengenai pengalaman mereka membesarkan ketiga putra mereka melalui HS. Tapi mereka bukannya antipati sekolah formal lho. Hanya saja kebutuhan dan keadaanlah yang membuat mereka memutuskan HS sebagi sarana belajar putra-putra mereka.
Kisah mas Andri ini sebagian sudah diceritakan dan juga dituliskan di buku pertama. Tetapi buku kedua ini tidaklah sama konsepnya dengan buku pertama. Dan ini pendapat saya mengenai buku ini.
Seorang pereview katanya sebaiknya bisa mengupas positif dan negatif nya suatu buku. Baiklah, sebagai pereview yang ingin dikatakan baik, hehe, saya sampaikan dulu hal yang kurang sreg dari buku ini. Maaf ya Bunda Is, saya menemukan beberapa typo di buku ini. Misanya kata biaya terketik menjadi biayah, kata bayar terketik bayahr, atau terketik Alhmdulillah. Haha .. rewel banget sih ya saya. Maklum ya bund, saya kan guru bahasa, kerjaannya mengamati dan mencari kesalahan tulisan siswa. Tapi typonya tidak sampai fatal mengganggu arti keseluruhan teks kok. Hanya saja akan lebih perfect jika typonya tidak ada sama sekali.
Dibalik keluhan remeh saya itu. Saya cukup terkejut dengan pilihan alur terbalik yang dipilih Bunda Is di buku kedua ini.
Jadi tidak dikisahkan dari mulai awal mula kecilnya mas Andri sampai besar. Ceritanya malah bermula dari kegelisaha Andri dulu dalam memperoleh beasiswa kuliah di Jepang. Lalu bab bab berikutnya tentang menyelesaikan skripsi, pengalamannya HS, masa SMA dan SMP, SD dan masa kecilnya. Jadi di tengah jalan, kita bisa ber ‘Oooo tadinya begini to’. Dan itu - Menarik. Jadi tidak membosankan.
Kalau di buku pertama, Bunda Is, menulis dengan menempatkan diri sebagai ibu. Di buku kedua setebal 146 halaman ini, Bunda Is ajaibnya memilih menempatkan diri dari sudut pandang si anak, sebagai tokoh ‘aku’ yang mengacu pada Mas Andri.
Memilih sudut pandang ini menurut saya membuat buku ini menjadi lebih kuat. Kita merasa dituturkan langsung oleh si tokoh utamanya. Dan seperti obrolan di dunia nyata, kisah yang diceritakan langsung oleh pelakunya kadang jadi terasa lebih istimewa.
Jika ingin memiliki buku ini, anda bisa berhungan langsung dengan penulisnya lewat Facebook dengan nama akun Madaniyah Isfandriati. Saya yakin beliau akan menyapa dengan ramah dan hangat. Memang begitulah beliau biasa bertutur kata. Buku Jangan Berhenti Bermimpi ini diterbitkan secara indie lewat penerbit Edwrite Publishing.
Kisah di buku ini adalah berdasar kisah nyata putra sulung Bunda Is yang bernama Andri. Sekarang Mas Andri ini sedang melanjutkan study di Kyusu University Fukuoka Jepang dengan beasiswa. Sesuai dengan passionnya, belajar tentang konservasi terumbu karang.
Meskipun tidak mudah, Andri telah berhasil mencoba bangkit melawan keterpurukan. Mencoba menatap masa depan yang tak sesuram bayangannya dulu. Untuk detail kisahnya, silahkan anda nikmati sendiri buku ini halaman demi halamannya.
Bersama Bunda Is, berkerudung hijau tua di tengah anggota komunitas Gen JW Solo |
It Should be No More Bullying at School
Dari buku ini saya terinspirasi untuk lebih berhati – hati dalam bersikap atau bertutur saat di depan kelas.Siapa tahu sikap atau tutur kata saya itu ada yang berlebihan sehingga terasa menjadi bullying bagi sebagian siswa. Karena siswa-siswa itu pada dasarnya kan anak-anak yang unik , berbeda karakternya. Apalagi, guru dan sekolah sekarang juga semakin didorong untuk melakukan Penerapan Pendidikan Karakter di sekolah. Guru dan sekolah harusnya selalu membuka komunikasi terbaik dua arah dengan orang tua siswa untuk membangun karakter baik siswa.
Pada akhirnya, kita semua sungguh berharap tidak ada lagi siswa yang melakukan bullying atau perundungan. Kisah Audrey maupun kasus bullying lainnya semoga tidak terjadi lagi pada remaja-remaja, apalagi di sekolah.
Semoga sekolah bisa merangkul siswa-siswanya untuk bisa saling menghormati dan sayang teman. Tiap sekolah akan bisa menjadi rumah kedua anak-anak kita yang bebas dari bullying. Sehingga anak –anak kita itu akan bisa mencari cara terbaik untuk menemukan dan mengasah bakatnya. Untuk tidak berhenti bermimpi. Karena masa depan adalah milik mereka yang percaya akan indahnya impian.