Apem Kukus Tradisional yang Ngangeni

01.05


Tradisi Membuat Apem

Menjelang Ramadhan, apem kukus ini merupakan salah satu hidangan khas yang menjadi bagian dari tradisi Megengan. Di beberapa desa di wilayah kota tempat tinggal saya, Wonogiri, tradisi megengan masih dilaksanakan. Saat ini memang tidak semua warga menyelenggarakannya. Keluarga kami termasuk yang tidak mewajibkan mengadakan acara megengan menjelang Ramadhan. Tetapi memasak dan menikmati apem tetap menjadi salah satu hal yang ngangeni, bikin kangen masakan tradisional buatan rumahan biasa.

Megengan merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan. Di Wonogiri, megengan umumnya dilaksanakan sekitar dua pekan  sampai sehari menjelang puasa. Di beberapa tempat ada yang megengannya dilakukan secara berkelompok, di kebanyakan desa diselenggarakan per rumah secara bergantian. Rumah yang menyelenggarakan megengan mengundang tetangga-tetangga terdekatnya. Beberapa  menu makanan dihidangkan dan apem merupakan salah satu menu yang disajikan. Untuk kisah menarik Ramadhan dari blogger lain silakan baca disini

Gadis kecil saya yang pernah melihat acara ini menjadi penasaran dengan pembuatan apem yang disajikan oleh pemilik rumah. Ada dua macam apem yang disajikan yaitu apem goreng wingko dan apem kukus. Bentuknya yang seperti conthong atau kerucut menjadikannya tampak beda dan menarik.
"Eh . dibungkus dhong nongko , lho buk!" serunya ingin tahu. Hap..hap.. tahu - tahu sudah beberapa bungkus dilahap.

Lha ini rahasianyaaa.. dikukus memakai godhong atau daun nangka. Apalagi jika dikukus menggunakan kukusan bambu di tungku api tradisional. Woow..rasanya yang legit manis dipadu aroma khas akan membuat kita terkangen kangen. Aromanya akan lain jika adonan apem ini dibungkus menggunakan daun lain yang lebih umum dipakai, daun pisang misalnya.

Maka meskipun kami tidak merayakan megengan, kami ingin mengenalkan cara pembuatan kue tradisonal kepada gadis kecil kami itu. Kebetulan ada Budhe Tun, saudara dari ibu saya, yang pandai memasak kue tradisional ini. Prosesnya memang sedikit rumit bagi saya yang tak pandai bikin kue, dikukusnya juga tidak memakai tungku api tradisonal, tapi hasilnya tetep syedaap dan bisa mengobati rasa kangen.

Resep Kue Apem Kukus Bungkus Daun Nangka

Hari itu niat banget bahan-bahannya disediakan sejak awal. Ini karena dalam membuat kue apem ini ada proses membuat ragi sendiri dari tape singkong yang memerlukan waktu tidak sebentar.

Ini dia bahan - bahan yang diperlukan untuk membuat apem conthong daun nangka:

500 gram Tepung beras
400 gram gula pasir atau gula jawa
3 bungkus kecil tape singkong (haluskan)
1/2 sdt ragi instan (optional)
1 mangkuk sedang santan kental dari 1 butir kelapa
Garam secukupnya
3 lembar daun pandan

Cara pembuatan yang pertama adalah membuat 'jladren' atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut adonan. Berikut cara lengkap membuatnya:

  1. Tape singkong dibuang seratnya, lalu dilumat-lumat dengan tangan.
  2. Tambahkan tepung beras dan gula pasir atau gula jawa sedikit demi sedikit berselang - seling sambil terus diuleni
  3. Tambahkan santan sedikit demi sedikit untuk mengencerkan adonan
  4. Masukkan ragi instan atau ada yang menyebutnya obat apem sambil diaduk
  5. Bila semua bahan tercampur, tutup wadah adonan/ jladren dengan kain bersih
  6. Diamkan jladren sampai mengembang (lamanya terserah, ada yang cukup satu dua jam, ada yang mendiamkannya sampai 5 jam)
  7. Buat conthongnya dari daun nangka yang disematkan dengan lidi
  8. Setelah mengembang, adonan dimasukkan ke conthong-conthong tersebut
  9. Kukus hingga matang sampai sedikit merekah (sekitar 20-30 menit)

Membuat conthong dari daun nangka
Hati-hati menuang jladren ke tiap conthong

Gadis kecil kami excited sekali saat menuangkan jladren yang sudah jadi ke conthong daun nangka. Sepulang sekolah dia langsung ikut membantu sampai tidak sempat ganti baju dulu. ehehe.. Semangaatnya! Dia agak kesulitan saat membentuk daun nangkanya menjadi bentuk conthong. Daunnya yang masih segar dan agak keras jadi menyulitkan untuk dibentuk. Si bapak sampai akhirnya turun tangan membantunya. Rasanya makin lezat saat menikmati apem conthong dong nongko panas-panas hasil buatan sendiri.

Sejarah Apeman dari Tanah Jawa

Beberapa ahli bahasa menyatakan bahwa istilah apem itu sebenarnya dari bahasa Arab, yaitu afuan/afuwwun yang berarti ampunan. Dalam filosofi Jawa, kue tradisional ini dianggap sebagai simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Lalu lidah orang Jawa kemudian menyederhanakannya menjadi apem.

Nah saat tradisi membuat apem dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan atau Idul Fitri, itu mereka maksudkan untuk saling meminta maaf menjelang hari suci tersebut. Dimaksudkan untuk menyambut bulan Ramadhan yang istimewa dan Idul Fitri yang suci dengan diri yang bersih dari dosa, meminta ampunan dari Allah SWT. Tradisi yang diadakan menjelang Romadhon disebut megengan. Yang menjadi pro kontra adalah ketika ada unsur memberi sesajen dalam acara tersebut. Ya pendapat orang bisa beda-beda sih. Semua punya dalil masing -masing. Tapi yang jelas si apem itu tidak ada salahnya dinikmati sebagai kudapan tradisional. Apalagi apem conthong daun nangka ini. Lezaaat dan ngangeni.

Kalau ditilik dari sejarahnya. Si apem ini alkisah bermula dari zaman Sunan Kalijaga, salah seorang bagian dari Wali Sanga yang termasyur itu. Menurut cerita, seorang murid Sunan Kalijaga yang disebut Ki Ageng Gribig atau Sunan Geseng, waktu itu pulang dari ibadah haji. Beliau melihat penduduk desa Jatinom, daerah Klaten, banyak yang kelaparan.

Tergerak membantu warga tersebut, Ki Ageng Gribig membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan. Untuk mengenalkan mereka pada Islam, beliau mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu ya Qowiyyu (Allah Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun kemudian menjadi kenyang, terbebas dari rasa laparnya. Ini kemudian memotivasi penduduk setempat untuk terus menghidupkan tradisi upacara Ya Qowiyyu setiap bulan Safar. Gunungan apem besar diarak untuk kemudian dibagi pada masyarakat yang berkumpul di acara tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan bersedekah lebih banyak.

Acara Ya Qowiyuu di Klaten (gambar diambil dari antara.com)

Falsafah Dibalik Kue Apem

Kalau dipelajari lebih mendalam, kita dapat mempelajari falsafah dalam pembuatan kue apem tersebut. Jadi tak hanya enak, kue kukus tradisional ini juga memiliki makna yang mendalam.
Begini falsafahnya kalau dikaji dari bahan-bahan pembuatannya.

Apem itu kan bahan utamanya adalah tepung beras, dalam bahasa Jawa disebut 'glepung'. Kalau diamati, bentuk glepung itu kan seperti debu halus. Maka secara falsafahnya, glepung itu debunya jagad, debu semesta. Seperti sebuah gunung api, ketika erupsi akan menutupi bumi dengan debu, bersamaan dengan lelehnya lahar. Laharlah si santen. Santen, air perasan dari daging buah kelapa yang merupakan perlambang dari susu buah kehidupan, akan nguleni glepung. Glepung yang berasal dari padi itu dianggap sebagai buah dari tanah kehidupan. Sebuah kombinasi harmonis dari kehidupan yang ideal. Apalagi jika santen yang digunakan santen kanil berkualitas bagus, santen yang paling kental, apem yang dihasilkan akan luar biasa.

Bahan-bahan tadi kemudian diaduk dalam satu wadah yang disebut 'jladren'. Kata jladren itu sendiri berasal dari kata jaladri yang berarti samudera; simbol air kehidupan yang luas. Maka jladren bermakna adonan yang berbentuk tiruan rupa samudra. Kalau menurut saya, ini dapat juga dijadikan sebuah pemaknaan agar manusia pembuat dan penikmatnya selain hidup harmonis, merasa sekecil debu, juga menjadi mempunyai ilmu dan kesabaran seluas samudra.

Jladren apem itu kemudian perlu dienengke atau didiamkan beberapa waktu. Tujuannya agar meneb dan mengembang jika didang (dikukus). Jadi manusia itu tidak boleh grusa-grusu, tidak mudah pula sombong, tapi harusnya meneb.. berdiam barang sebentar untuk menjaga ketenangan diri. Meneb nya bisa dengan bersimpuh menenagkan diri saat sholat dan berdzikir dengan khusuk.

Jadi secara garis besar falsafah yang terkandung dalam kue apem ini mencerminkan keharmonisan manusia sebagai bagian dari tata kosmos yang seharusnya dijaga tetap harmonis. Baik antar manusia, alam dan dengan Tuhannya. Tentu saja falsafah kue apem seperti ini mungkin akan anda temui beberapa versi lain, temasuk asal-usul sejarahnya. Yang penting maknanya baik.

Ah, gadis kecil saya sih belum begitu paham akan semua falsafah itu. Apem conthong bungkus daun nangka itu tetap terlihat istimewa. Dan rasanya yang lezat, cara membuatnya yang unik membuat kue kukus tradisional ini semakin ngangeni.

Bagaimana dengan kue tradisional di daerah anda? apakah juga mempunyai sejarah dan falsafah semenarik apem? Yuk mari lestarikan kuliner tradisional yang ada disekitar kita.

Untuk menu lainnya, ayo baca juga yang satu ini : Es Bunga Telang Seger dan Gimbab untuk dicoba di rumah.

Salam manis,










You Might Also Like

54 comments

  1. Hai Kak...
    Wah, ternyata Kakak nggak ikut tradisi apem tapi masih turut andil membuat kue apem bersama gadis kecil Kakak.
    Seneng banget pasti dia diajakin bikin kue sekaligus mengenal sejarahnya.


    Di tempatku, tradisi kue apem ini masih ada. Tapi, sudah nggak seheboh dulu. Tinggal yang tua-tua aja rasanya yang masih menikmati tradisi ini.
    Yang muda jarang ikut.
    Sedih sih jadinya.
    Tapi, ya seiring berjalannya waktu. Jadi berkurang. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah kan tinggal yang tua tua saja yang bisa. Itulah mengapa kami membekaskan pengalaman ini ke gadis kecil kami. Yuk mba nid, juga belajar mbuat kue apem ini

      Hapus
    2. Ah, aku sedikit bisa kok. Hehe... Cuma kurang jam terbangnya saja. Semoga gadis kecil kakak suka belajar hal-hal baru, termasuk bikin apem dan sekaligus makannya.

      Hapus
  2. Wah...ngeces ama gurihnya campuran gula merah, santan, dan wangi pandan. Favorit deh jajan pasar.
    Bikinnya kudu telaten yah, jadinya generasi sekarang engga sabar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yess itu dia, prosesnya perlu ketelatenan, jadi yg muda muda suka keder duluan ☺

      Hapus
  3. Tradisi yang bagus sebenarnya, asal jangan berebutan kue apem saja. Tujuannya baik tetapi beberapa oknum kadang nggak ngerti, fokus saja ke kuenya. Betewe, si adek pintar ya, saya nyerah de kalau urusan bikin kue.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya mbak, nggak enak lihatnya kalau berebutan gitu. Apalagi kalau malah jadi banyak yang jatuh ngga kemakan.
      Gadis kecil saya malah lebih tertarik memasak daripada simboknya ini ehehehehe

      Hapus
  4. Terlihat mudah kalo dibaca bun tapi ga tau nih aku bisa ga yah hehe belum pernah buat penganan tradisional. Penasaran ingin coba deh bahan-bahannya juga mudah didapat semoga ga gagal hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak Mega kan pinter masak. Pasti bisa yaa

      Hapus
  5. Di daerah ku juga ada tradisi apem. Apemnya ada yg dikukus, ada juga yg digoreng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau digoreng enaknya ada aroma harumnya. Lebih gurih. Tapi lebih sehat yg kukus ya

      Hapus
  6. Saya suka apem, tapi baru tahu kalau ada apem yang digoreng. Duh, jadi pengen bikin apem buat buka puasa nanti. Mendadak ngiler dakuh, mba...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apem goreng rasanya bisa ada lebih wangi sedep gitu mbak..tapi lebih sehat yg kukus ya sepertinya

      Hapus
  7. Aku suka makan apem mba, tapi gak suka bikinnya ehehehe.. di tempatku juga masih banyak yang bikin apem saat ruwahan atau acara2 lainnya. Pake nangka pasti makin wangi ya.. hm, yummy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heem wangi nangka memang selalu menggoda. Iya saat ruwahan apem termasuk hidangan khasnya. Nyamm nyamm

      Hapus
  8. Dulu aku pernah tinggal di Baturetno, Mbak. Keluarga kami dulu belum ber-Islam. Masih kepercayaan gitu. Jadi setiap malam tertentu, Mbah Kakung itu mengadakan upacara keagamaan yang ada kembang tujuh rupa dan kue apemnya. Baca tulisan ini, jadi rindu sama suasana di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pernah jadi wongnogiri juga yaa.. Iya mbak melina, mbah mbah memang masih islam abangan gitu didesa, eh kalau saya mbahnya di desa desa wilayah Tirtomoyo mbak.

      Hapus
  9. Mbak,aku penasaran waktu adonannya dituang, supaya nggak tumpah, dipakein apa,ya? Kan bentuknya corong, gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditata secara rapat di dandang gitu mbak kalau ditempat saya. Dalam keadaan berdiri. Dandang dah siap agak panas baru dimasukin pakai sendok sayur. Nah kan bawahnya cepet mengental,jadinya ngga sempat mbleber mbleber

      Hapus
  10. Wow, kalau kita tahu filosofi sesuatu barang atau makanan, pasti menarik ya bund...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak eva, jadi lebih bersemangat makannya eh.. MeMasaknya 😊

      Hapus
  11. Duh aku jadi inget Ibuku kalau bikin apem kukus kayak gini
    Aku copas resepnya ya Mbak
    Makasih sudah berbagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih juga sudah mampir mbak dian. Padahal kalo yang mbuat semanis mbak dian, apemnya pasti yahud lhoo eaa

      Hapus
  12. Hampir sama dengan di tempat saya, nih. Setiap jelang Ramadan, ada kenduri di musalla Kampung. Selalu ada apem pada hidangannya. Bukan Yang conthong seperti ini, sih. Dikukus biasa atau yang didadar (apem selong).
    Filosofi apem memang bagus sekali ya, Mbak. Sangat layak dipertahankan sebagai tradisi. Jadi kangen apem conthong. Duluuuu Simbah saya pernah bikin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah baru dengar itu nama apem selong. Memang tiap daerah ada budaya ngapem sendiri sendiri. Simbah simbah jaman dulu memang kreatip yaa. Bangga deh

      Hapus
  13. Apem dikukus? Penasaran aku,Mbak. Di tempatku apem ya pakek cetakan itu, atau enggak model Apem Inggris ala serabi itu. Kapan2 tak cobak deh, ntar resep tak bawa pulang biar ibuku yang ngadoni, wkwkwkw. Kalau aku angkat tangan duluan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..itu juga budhe aku kok mbak yang mbikin adonan. Aku tim hore ajaah ☺

      Hapus
  14. Lama sudah nggak bikin apem mbak. Hehehe

    Sekarang untuk menyambut ramadan biasanya di desa ada tradisi bikin apem. Tapi lama kelamaan nggak ada lagi.

    Aku jadi kangen makan apem. Suka banget apalagi kalau dikasih nangka. Aromanya khas gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yups tiada duanya. Ayo mba malica coba buat sendiri sajaa

      Hapus
  15. Membaca penjelasan mba tentang apem dibungkus daun nangka sdh terlihat ada perbedaan rasa dgn apem2 lain yg prnh sya temui. Apem model begini blm prnh sya temui alalgi menikmatinya. Dr tulisan mba ini jd ikut kebayang betapa legitnya rasa apem itu. Filosofi dn arti nama asalnya pun bagus..hidup ini emg penuh dgn filosofi ya ☺️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak ratna, main ke ndeso di wilayah wonogiri atau klaten pas menjelang Ramadhan atau sesudah ied

      Hapus
  16. Kuliner tradisional selalu membawa rasa kangen dan menggugah selera.
    Saya baru pertama kali menemukan apem yang menggunakan daun nangka sebagai wadahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini bebrapa juga sudah mulai bergeser ke apem yang cetakan kok. Padahal rasanya lebih nyuus ☺

      Hapus
  17. Biasanya menjelang akhir Ramadhan gini, embahku juga bikin apem mbak, tapi selama ini saya tak paham kalau ternyata di balik pembuatannya ada filosofi yang berharga, informatif banget ini 😊

    BalasHapus
  18. Ternyata sejarah kue apem ini penuh dengan filosofi ya teh,..enggak nyangka,..sampai sekarang banyak banget peminatnya,..mampir ya teh 😀

    BalasHapus
  19. Dikampung halaman saya diwonogiri kalau lebaran gini ibu ibunya pasti pada bikin kue apem,,,udah tradisi dari sananya hehehe,,,,ada yang bikinnya digoreng,,,ada juga yang dikukus dan diberi conthong yang yang conthongnya dari daun nangka,,,sepertinya sama ya kue apem kukus didaerah kita hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah kita sama sama penduduk wonogiri nih.. Apem kukus maupun goreng sama lezaatnya ☺

      Hapus
    2. Walah...ternyata sama sama wonogiri...pantesan tau sama apem conthong yang conthongnya dari daun nangka hehehe

      Hapus
  20. Apem ini enak juga ya teh kalau di makan bareng air kelapa 😀

    BalasHapus
  21. Huaduuh .. seumur-umur aku belum pernah ngerasain gimana enaknya rasa apem kukus dimasak pakai daun nangka.
    Lihat gambarnya saja baru sekarang ...

    Duh, ndeso banget ya saiaaaa 😢

    BalasHapus
  22. Aih kerennya. Dari sebuah kue kita bisa belajar falsafah hidup yang dalem.

    BalasHapus
  23. saya baru tahu ada apem bungkus daun nangka.
    biasanya di daerah saya apemnya warna putih tanpa dibungkus.

    BalasHapus
  24. saya suka ini juga mbak, apem.
    Dulu pas masih tinggal di yogyakarta kalau acara kenduren, pasti nenek bikin ini.
    Rasanya unik.

    BalasHapus
  25. Suka banget baca tulisan-tulisan di sini, lengkap banget :)

    Saya termasuk penyuka kue apem mba, tapi belum pernah sama sekali cicipin apem dibungkus daun nangka.
    Kalau pakai Nangka sih sering hihihi.

    Apem itu salah satu jajanan yang saya tunggu-tunggu setiap kali ada megengan, pasti setiap rumah ada kue tersebut ya.

    Sama kayak di daerah asal saya di Buton, punya kue tradisional juga pas megengan, eh tapi di sana bukan megengan sih namanya, kalau ga salah namanya haroa hahaha

    BalasHapus
  26. Oh mbak April orang Wonogiri ya mbak.😊

    Kalo di daerah Tegal biasanya kalo mau lebaran ada tradisi bikin ketupat, jadi tiap bikin ketupat lalu dibagikan sama tetangga sekitar sama saudara. Kalo bikin apem ada sih, tapi pakainya daun pisang bukan nangka, karena ngga ada pohon nangka di desa saya.😄

    BalasHapus
  27. Aku selalu suka dengan filosofi Jawa yang indah dan sarat makna, Mbak. Mengenai apemnya, aku baru tahu ada apem jenis begini. Tapi dari warna dan penyajiannya, kelihatan enak dan menul-menul ya. Selalu suka jajanan tradisional yang manis dan gurihnya pas. Gak seperti jajan kekinian yang manis atau gurih banget, karena bahannya yang seringkali tidak alami.

    BalasHapus
  28. Megengan ini sepertinya merata di Pulau Jawa ya Mbak. Suami saya yang asli Pasuruan pun mengenal tradisi ini. Saya pikir selama ini maknanya cuma berbagi menjelang Ramadhan, ternyata dari kisahnya mbak, luas sekali maknanya. Menarik ya ternyata kalau kita mengenal lebih jauh tradisi di sekitar kita :)

    BalasHapus
  29. apem , kalau ditempat saya itu buat acara untuk menjelang puasa dan menjelang idul fitri ada yang nantinya makanannya diantar ke - rumah warga ada pula yang didoakan dengan menggundang bapak ki - nyai . dan ??? berbicara tentang apem, kalau ditempat saya apem, itu bungkusnya daun pisan tapi kalau ditempatnya bu guru justru kok bungkusnya daun jati. ya??? berbeda - beda daerah beda adatnya dan beda tradisi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak,beda daerah beda tradisi gaya apemnya. Makasii udah mampir :)

      Hapus
  30. Baca baca artikel lama tentang apem sajalah, soalnya artikel baru tentang bahasa Inggris semua, ngga mudeng Bu guru.😂

    Oh, disana namanya tradisi Magengan ya Bu, kalo daerah saya namanya unggah-unggahan, biasanya memang diadakan setengah bulan sebelum puasa sampai sehari sebelum ramadhan. Tapi biasanya tidak pakai apem sih, makanan apa saja.

    BalasHapus