Mewarnai Akal Mengakarkan Pekerti

19.54


Apa warna akal mereka? 
Sepertinya hijau. Tampak menyeruak diantara rapinya barisan mereka di upacara bendera pagi ini. Terus bertumbuh. Menjulang. Ingin menjadi yang tertinggi.

Lalu apa yang salah ketika siswa-siswa di negara ini diklaim memiliki tingkat pencapaian pendidikan tidak terlalu tinggi?  Dengan tempat peringkat 62 dari 72 negara di dunia. Benar adanya, itu bukanlah peringkat yang mengagumkan untuk sebuah negara dengan sumber daya melimpah ini. Bahkan kalah tertinggal dengan negara kecil  tetangga. Singapura duduk takzim di antara urutan teratas. Penelitian itu sungguh tidak seindah hijau yang kulihat di pendar akal mereka hari ini.

Kemudian mulailah saling menyalahkan

Berapa harga akal mereka? Apakah setara dengan harga 20 persen anggaran pemerintah yang dialokasikan di bidang pendidikan itu? Wah jangan main-main. Itu harga peringkat keempat tertinggi dari negara didunia pada alokasi anggaran pendidikan. Pemerintah berkilah telah menginvetasikan banyak sumber daya di bidang pendidikan. Tidak semua negara melakukannya.

Sebagian mulai mempertanyakan kredibilitas PISA sebagai program penguji kualitas pendidikan itu. Asal tahu saja ya. PISA (Programme for International Student Assessment) itu  adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains untuk siswa sekolah berusia 15 tahun di berbagi belahan dunia.  PISA merupakan studi yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003, 2006 dan seterusnya.  Dan hasil diatas adalah hasil PISA 2015 yang dirilis Desember 2016 lalu.

Sehebat apa sih si PISA itu sampai berani memberi warna coklat selayu daun kering untuk akal anak-anak kita ini? Membuat geram. Meradang. Walau kemudian takluk pada kenyataan bahwa PISA memang menyajikan bukti ilmiah yang sangat kuat. Diakui secara internasional.

Beberapa mulai menggerutu pada kurikulum. Yang lainnya meruntuki guru yang tidak kunjung cakap menyampaikan materi. Sisanya duduk jongkok tak peduli di pinggir sungai sambil ngupil. Tak peduli. Bodo amat dengan segala yang katanya carut marut di dunia pendidikan. Selama nasi masih mengebul cukup untuk sekedar makan tiga kali; buat apa memikirkannya.

Dan lihatlah saat kita mulai sibuk saling menyalahkan, anak-anak kita itu akan semakin kehilangan pendar warna kehijauan itu. Dan pada akhirnya kenyataannya adalah : Blaming others will get you nowhere!

Waktunya Berkaca dan Peduli

Sungguh tak ada yang salah dengan dasar pendidikan kita. Ki Hajar Dewantara, yang hari lahirnya kita peringati sebagai hari pendidikan, sebenarnya telah meletakkan pondasi yang sangat kuat untuk pendidikan di negara kita ini. Ki Hajar berpuluh tahun  yang lalu telah dengan tegus menyatakan bahwa Pendidikan itu ya harus meliputi tiga hal secara menyeluruh-tidak boleh dipisahkan- tidak boleh saling mengenyampingkan: Olah Akal – Olah Rasa – Olah Raga.

Jangan- jangan saat ini kita hanya sibuk mengolah akal anak – anak kita ini. Sedikit memberi ruang untuk mengolah raga dan pekerti mereka. Sibuk mengajari mengeja membaca per kalimat di  buku , tapi lupa mengenalkan indahnya karakter gemar membaca.

Berjibaku membuat mereka tangkas berhitung , tapi mengenyampingkan dahsyatnya karakter ingin tahu – mematikan berpikiran kritis mereka dengan sekedar hafal rumus bangu ruang dan perkalian.
Menyempatkan ribuan jam untuk menghafal ratusan teori rumus tapi menempatkan sedikit waktu untuk mengembangkan karakter peduli mereka. tahu  teori tapi tak paham cara menerapkannya.

Hey, Character Matters !

Charater matters - mewarnai akal itu memang penting - tetapi mengakarkan pekerti pun tak kalah pentingnya. Membangun akhlak dan karakter sangatlah penting. Bukan sesuatu yang layak dikesampingkan atas nama nilai pengetahuan semata.

Anak-anak kita  itu hanya seperti pepohonan di atara rimbunan hutan . Warnai hijaunya agar selalu bersinar. Tapi jangan lupa menjaga akar pekertinya untuk tetap mencengkeram erat. Hingga nanti saat badaipun-kelak mereka akan tetap menjulang. Diukur dengan metode pengukuran apapun mereka akan tetap jadi diantara yang tertinggi.

Tapi maaf saya beri tahu sedikit rahasia ya. Guru tidak bisa melakukan itu sendirian. Pemerintah tak akan jalan kebijakannya. Tanpa dukungan anda semua- ayah bunda hebat di luar sana.

Sehebat apapun guru dan kurikulum yang dibuat pemerintah, semua itu tak akan bisa menghebatkan anak-anak kita – jika tanpa dekapan yang kuat dari ayah bundanya di rumah. Jika tanpa dasar warna hijau yang kuat dari rumah. Jika tanpa pondasi akar pekerti yang kokoh dari rumah.

Selamat  mendidik. Sejenak luangkan waktu hari ini – menghargai warna akal mereka. Mengakarkan pribadi mereka.Dan lihatlah kelak mereka akan terus bertumbuh .Lebih tinggi dari pohon manapun. 

You Might Also Like

15 comments

  1. Siap, mbak.
    Pendidikan dimulai dari dalam rumah dan dari orang tua.
    Makasih ... artikelnya keren.

    BalasHapus
  2. Setuju, diperlukan kerjasama semua komponen bangsa untuk mewujudkannya.

    BalasHapus
  3. Sebuah pesan pentingnya bahwa mendidik anak bukan semata tugas guru dan sekolah. Ada peran orangtua yang sangat penting di sini. Itu benar. Aku setuju sekali. Saat orangtua lalai dan menyerahkan 100% pada orangtua, bersiap daja saat kelak Allah bertanya, sudah melakukan apa untuk anak-anak kita.

    BalasHapus
  4. Setuju bun sehebat apapun pengajaran guru dan kita kepada anak, namun kita tak kunjung mengerti sebenarnya karakter anak itu seperti apa maka si anak akan terkungkung selamanya. Noted bun

    BalasHapus
  5. Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan pada guru di sekolah. Dan, ketika terjadi sesuatu, mereka tdk mau tahu dan terus menyalahkan sekolah. Padahal, orang tua juga tidak boleh berlepas tangan dalam urusan pendidikan anak.

    BalasHapus
  6. Peran penting orang tua pun mempengaruhi pendidikan anaknya

    BalasHapus
  7. Sebenarnya masih belum paham betul mengenai mewarnai akal, itu bagaimana ya? tapi ya tetap berusaha semaksimal mungkin menemani mereka mengolah akal, olah rasa dan olah raga. Semoga kita semua dapat menjadi orangtua trbaik bagi mereka.

    BalasHapus
  8. Setuju mba, kadang ortu sudah merasa bebas karena menyerahkan pendidikan ke sekolah formal. Padahal anak juga butuh suport dari bapak ibunya, kasih sayang dan perhatian penuh dari semua pihak. Ah semoga Indonesia makin paham tentang hal ini dan generasi muda makin kaya.

    BalasHapus
  9. Suka dengan tulisannya mbak.

    Semoga kedepannya pola pendidikan kita di Indonesia, bisa lebih baik lagivya bun. Begitupun dengan orang tua siswa agar bisa lebih perduli lagi pada perkembangan anak anaknya

    BalasHapus
  10. yess. Setuju sekali dengan kalimat terakhir bahwa tanpa peranan orang tua di rumah, maka kurikulum dan guru di sekolah tiada berguna. Peran terbesar ada pada orang tua

    BalasHapus
  11. sebenarnya, sekolah adalah pengisi waktu luang dari seluruh kegiatan di rumah. jadi rumahlah sekolah sebenarnya, sekolah hanya menambahi saja, tetapi kadang sekarang terbalik. Orang tua pasrah penuh pada sekolah, sementar jam bersama orang tua atau di rumah jauh lebih lama dibandingkan jam sekolah

    BalasHapus
  12. Guru sekarang kalau menurut saya lebih komunikatif. Punya wa grup berkenaan dengan urusan sekolah. Bisa langsung japri jika ada masalah dengan si anak.
    Semoga sinergi antara guru, murid, orang tua juga jajaran pemerintah terkait dalam hal pendidikan bisa menghasilkan anak-anak yang bermental tangguh dan berbudi luhur.
    Aamiin

    BalasHapus
  13. Aku setuju, bahwa pendidikan utama anak dalam tanggung jawab orangtuanya. Tapi aku kurang setuju, jika lantaran alasan tersebut pemerintah dan pendidik kemudian lantas tidak bekerja maksimal. Pendidikan bangsa adalah kerja bersama dan berkesinambungan. Bahan ajar, kurikulum, ujian, semua pemerintah yang menentukan. Maka perlu kiranya dibuat dengan memikirkan segala aspek yang tidak hanya menggenjot angka, tapi life skill.

    BalasHapus
  14. Menurutku pendidikan anak bkn hnya tanggung jawab ortu, tp juga guru saat di jam sklh. Juga saat di lingkungn mnjd tggung jawab masyarakst juga pemerintah. Semua turut andil tp yg mndasar mmg dr pendidikn skala inti ykni kluarga. Thx mb ulasannya kerenn...

    BalasHapus