CERPEN BUKAN GAJI BUTA

22.25

Pagi belum lama beranjak. Masih ada semburat oranye di tepi cakrawala, tampak kontras dengan lambaian pucuk-pucuk daun jagung yang mulai meninggi. Seperti ribuan pagi sebelumnya, Desa Kenitu tak mau terus larut dalam mimpi. Desa kecil di kaki Gunung Gandul itu mulai menggeliat. Demikian juga suasana di sebuah rumah kayu asri yang ada di salah satu sudut desa itu. 

Srak..srek.’ Tampak seorang ibu menjelang paruh baya menyapu gogrokan daun ketapang di samping rumah. Tak jauh, di pelataran dekat gerbang muka rumah, tampak suaminya sedang menyiapkan selang untuk mencuci sepeda motor. Rumah itu terletak di pertigaan jalan ujung desa yang salah satunya mengarah ke area persawahan dan tegalan. Banyak warga desa yang melewati jalan itu saat menuju sawah ladang mereka.

Monggo Pak Guru Wi,” sapa mbah petani tua sambil memanggul cangkulnya.

Sugeng enjang. Mbah Tomo. Pun ajeng tandur niki?” laki-laki yang dipanggil Pak Wi itu membalas sapa yang kemudian berlanjut menjadi percakapan hangat barang semenit dua menit. Begitulah suasana paseduluran di pedesaan, hal-hal kecil pun dapat menjadi perhatian untuk menjadi bahan perbincangan yang menghangatkan di pagi hari. Sepeninggal Mbah Tomo yang melanjutkan perjalanannya ke sawah, Pak Wi menyalakan kran air. Ditemani cemruwit suara burung prenjak, Pak Wi melanjutkan mencuci sepeda motor kesayangannya. 

“Toeet..Toeet.. Yuuur.. Sayuuur!” Tiba-tiba terdengar suara lantang si Mas Bakul sayur keliling memeriahkan pagi. Sebuah pos kamling yang ada di depan rumah pak Wi itu memang sudah lama menjadi tempat mangkal sepeda motor penjual sayur. Beberapa ibu di sekitaran situ akan segera mendekati penjual sayur langganan. Demikian juga Bu Wi.

Bu Wi tidak memerlukan waktu lama untuk berbelanja, hanya sambil menyapa sedikit pada beberapa ibu lain. Dia ingat, Pak Kades sudah beberapa kali memperingatkan warga desa untuk tetap memakai masker dan tidak berkerumun terlalu lama. Pagi itu terlihat ibu-ibu sudah tertib mengenakan masker, tetapi untuk urusan ‘sebentar’,  itu sesuatu yang agak sulit diterapkan. Beberapa ibu masih asyik mengobrol sambil memilih sayuran. 

“Eh, Dik Watik, Jadi guru sekarang ini penak yo?” celetuk Yu Minuk sambil mencomot bungkusan teri kering, matanya sekilas terlihat melirik ke arah Pak Wi, “Hampir tiap hari tengak-tenguk di rumah saja, tapi gajinya penuh setiap bulan.”

Lha piye meneh,Yu. Murid-murid sekolahan kan masih belajar dari rumah,” perempuan yang dipanggil Dik Watik menimpali dengan nada yang lebih pengertian, “Katanya baru minggu depan mau dimulai sekolah tenanan.”

Ooo.. jenenge PTMT kui, Dik. Gur pertemuan tatap muka terbatas. Paling seminggu sekali atau dua kali ke sekolahan. Gurunya ya masih santuyy.” Yu Minuk berseru menirukan gaya anak muda untuk mengatakan ‘santai’. Maskernya sampai mencas-mencos saking semangatnya berbicara.

“Lha itu kan namanya .. anu.. opo kae, Dik? Istilah yang pakai kata ‘buta’ gitu lho,” tambahnya. Prasangka memang seperti api di semak kering, cukup sedikit bara pemicu, apinya bisa segera menjalar ke mana-mana. 

“Cinta buta?” seru Dik Watik mencoba membantu.

Yu Minuk melempar terong yang baru dipegangnya ke arah Dik Watik tanda tidak setuju, “Bukan itu lah.”

“Si buta dari goa hantu?” Dik Watik semakin ngawur memberi rekomendasi.

Wong nganggo kata ‘gaji’ ngono lhoo.. Maksudnya orang itu terima gaji tapi tidak banyak kerjanya,” kata Yu Minuk semakin gemas. Kata itu seperti sudah di ujung lidah tapi lupa pengucapannya.

“Woalaah.. Makan gaji buta itu namanya,” jawab Dik Watik yakin kali ini.

“Naa.. itulah maksutku. Itu kalau di sineteron Azab ngeri lho, Dek. Barangsiapa makan gaji buta nanti saat mati, mayitnya akan ngglundhung ke kali gedhe!” Hiih, bergidik Yu Minuk menceritakannya.

“Halaah sereem banget, Yu!” seru Yu Watik dan Mas bakul sayur kompak. Obrolanpun makin kemripik bagai peyek teri yang baru matang.

Pak Wi hanya senyum simpul saja. Memang suara obrolan ngalor ngidul itu bisa didengarnya dengan jelas dari tempatnya mencuci sepeda motor yang kini sudah hampir selesai. Setelah mengelap jok sepeda motor dengan sekali usap, Pak Wi bergegas masuk ke dalam rumah, teringat ada yang harus dikerjakannya hari ini. Disambarnya setelan batik yang dicantolkan di pinggir lemari. Sebuah tas kerja kecil tak lupa dibawa. Matahari sudah mulai meninggi.

‘Werrr…Grek..Werr ewer!” Sepeda motor tua itu akhirnya menyala setelah diengkol tujuh kali. Stater otomatisnya sudah lama aus.

Yu Minuk dan Dek Watik sampai terkaget – kaget mendengar raungan sepeda motor Pak Wi, tersadar bahwa sudah cukup lama mereka mengerubung penjual sayur pagi itu.

“Lihat saja, sebentar lagi sepeda motor Alfa itu pasti akan berganti jadi Alphard!” Yu Minuk kembali tersulut api prasangka.

Alphard kiy apo to, Yu?” tanya Dik Watik tak kunjung paham.

“Itu lho , mobil uapiik yang dipakai mbak Anlin di sinetron Lilitan Cinta. Mahaal itu. Tapi katanya gaji guru sekarang makin besaar. Sur..Surtipikasi ngono jare orang – orang. Cukup untuk beli Alphard,” jawab Yu Minuk meyakinkan.

Pak Wi tersenyum saat berlalu di atas sepeda motornya sambil menyapa, “Monggo, Yuu!”

“Lihat saja, Pak Guru nanti pasti akan berbelok di perempatan arah kuburan. Pokokmen, setiap Senin dan Sabtu dia pasti menyempatkan ke rumah bercat ungu. Rumah paling pinggir yang mepet kuburan itu,” berentetan kata Yu Minuk membuat semua mata mengarah ke laju sepeda motor Pak Wi. Dan benar saja, motor Alfa itu dengan pelan tapi pasti terlihat meliuk belok ke arah kuburan tua di sisi selatan desa.

“Bener kamu, Yu. Rumah ungu yang ada di daerah sana itu kan kepunyaan Bu Merry, janda cantik yang pekerjaannya sinden itu. Suaminya meninggal karena Covid lima bulan lalu. Weladalaah..ra benerr ikiih, sudah makan gaji buta masih tambah aneh-aneh pula kelakuannya!” Dik Watik menebak-nebak yakin, semakin memanas larut dalam api prasangka. Pagi itu tercetusah ide bahwa demi kesetiakawanan antar wanita, mereka sepakat untuk memberitahukan Bu Wi tentang suaminya dan rumah ungu itu. 

“Lagipula Bu Wi itu kan Kepala Sekolah di SD anak kita. Kredibilitas sekolahan di desa kita juga dipertaruhkan,” Yu Minuk berkata meyakinkan dengan istilah yang terdengar canggih seperti penyiar berita di TV. Dik Watik manggut-manggut saja tanda setuju, walaupun dia sebenarnya tidak begitu paham istilah lawan bicaranya itu.

Sudah menjelang magrib ketika Yu Minuk dan Dik Watik sampai di beranda rumah Pak Wi. Mereka memilih waktu ini dengan asumsi bahwa Pak Wi biasanya menengok irigasi di ladangnya pada jam segitu. Saat hendak menngetuk pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara Pak Wi mulai nembang Dandhanggulo dengan lantang dari balik pintu. Yu Minuk dan Dik Watik terhenyak, segera balik kanan, membatalkan niat untuk menemui Bu Wi. Tetapi naas. Saking terburu – burunya, Yu Minuk tersandung gembor yang tergeletak di lantai beranda. 

“Gludak..Klonthaang..” suaranya mengagetkan semua orang. Yu Minuk segera bangkit dan siap berlari diikuti Dik Watik, tetapi terlambat, Bu Wi terlanjur melihat mereka.

Wah, ono tamu agung to iki tibake. Ayo mlebu, Yu.  Ada keperluan apa ini?” tanya Bu Wi menyambut mereka, membukakan pintu lebar-lebar.

Dik Watik mendelik memandang Yu Minuk, seolah memberi kode,” Jangan bilang-bilang soal rumah ungu!”

Tentu saja Yu Minuk paham. Bukan Yu Minuk namanya kalau tidak pinter ngeles,“ Anuu.. ini tadi kita penasaran kok mendengar ada suara merduuuu sekali dari rumah ini. Rupanya Pak Wi sedang nembang. Nopo sakniki Pak Wi seneng sinden?

“Huuussh!”seru  Yu Watik yang semakin mendelik, tangan kirinya siap melemparkan sandal ke arah rekannya itu.

“Anuu.. maksut saya apa Pak Wi sekarang suka lagu-lagu yang dinyanyikan para sinden itu?” sahut Yu Minuk secepat kilat meralat ucapan dari mulutnya yang memang kadang sering sulit direm. 

Bu Wi tersenyum memberi penjelasan, “Merdu dari mana to Yu.. Pak Wi ini sedang membuat video pembelajaran untuk muridnya. Ini tadi tripodnya rusak, saya bantu pegangi hp yang untuk merekam video. Anakmu Viola kan juga muridnya Pak Wi di SMP 7 to, Yu?”

Yu Minuk mengangguk mengiyakan. Pak Wi yang belum beranjak dari tempat duduknya di depan sebuah layar hijau turut menimpali, “ Ya beginilah, Yu. Mengajar dari jarak jauh itu tidak begitu gampang. Walaupun kami sudah termasuk guru tua, ya tetap harus berusaha belajar cara baru agar muridnya paham saat PJJ.”

Belum sampai pembicaraan mereka berlanjut lebih jauh, dari gerbang masuk tampak seorang gadis remaja berlari mendekat. Rupanya itu si Gendhuk Raviola Purnamasari, putrinya Yu Minuk.

“Buuuk, gawaat. Ini baru saja ada telepon, katanya mbah Uti dibawa ke ICU isolasi RSUD. Kena Covid. Katanya harus segera dicarikan plasma. Golongan darah AB habis di PMI,” kata Gendhuk Raviola panik sambil terengah – engah.

Yu Minuk terduduk lemas di kursi sambil menangis keras. Dua hari yang lalu memang dia telah dikabari kalau simboknya yang ada di ujung desa sakit panas dan kadang sesak nafas. Dia belum sempat menengoknya. 

“Ayo, Yu, kita ke PMI yang di samping RSUD selepas magrib. Saya bisa donor plasma. Saya dua bulan lalu kena covid dan kebetulan golongan darah saya juga AB. Mudah-mudahan cocok,” kata Pak Wi mencoba membantu. 

Malam itu di ruang tunggu kantor PMI, Yu Minuk tak bisa lepas dari rasa gelisah. Penuh harap semoga simboknya bisa segera mendapat pertolongan. Sudah beberapa saat Pak Wi masuk ke ruang pemeriksaan ditemani Pak Carik Maryoto yang bertugas sebagai ketua satgas Covid desa. Di tangannya ada HP milik Pak Wi yang dititipkan padanya sebelum masuk ruangan. Pak Wi berpesan untuk menjawab jika ada telepon dari Bu Wi agar istrinya itu tenang memantau keadaan dari rumah.

Klunting.. Yu Minuk melirik sebuah notifikasi pesan masuk WA di ponsel Pak Wi.

“Pak, ini Agnes murid kelas 9B. Saya tadisusah sinyal tidak bisa akses Google Classroom.Bolehkah saya dibantu mengerjakan sekarang?” tertulis pesan di layar ponsel.

Klunting .. klunting .. beberapa notikasi lain bermunculan dari beberapa murid pak Wi. Yu Minuk tidak pernah berfikiran sedemikian repotnya jadi guru meski PJJ, ini bahkan sudah menjelang waktu tidur, tetapi semua notifikasi yang berkaitan dengan muridnya ini pasti bukan sesuatu yang beliau abaikan begitu saja.

Yu Minuk dikagetkan dengan deheman Pak Maryoto yang rupanya sudah keluar dari ruangan  dan berkata, “ Syukurlah, Yu. Plasmanya cocok. Ini Pak Wi sedang proses donor.”

Yu Minuk jadi agak lega, mengucap syukur penuh harap untuk kesembuhan simboknya. 

“Bersyukur ya, Yu, njenengan mempunyai tetangga sebaik beliau. Pak Wi ini juga guru yang baik. Beliau tak kenal lelah membantu keponakan saya yang kesulitan PJJ karena tidak mempunyai HP. Yang putranya Bu Merry sinden itu lho, Yu. Sepeninggal suaminya, perekonomiannya morat marit, apalagi tidak ada lagi yang nanggap sinden selama pandemi. Saya mau membantu ngasih HP belum bisa, anak saya banyak,” kata Pak Maryoto sambil sejenak menghela nafas sebelum melanjutkan, “Setiap Senin Pak Wi mengantarkan fotokopi materi dan tugas ponakan saya sambil mengajarinya. Kemudian pada hari Sabtu dia mengambil tugas-tugas yang telah dikerjakan selama seminggu itu sambil memberi pengarahan. Tidak hanya baik kepada keponakan saya. Malah ini Pak Wi dan teman-teman gurunya sudah rapat dengan Pak Kades berencana memakai mobil desa untuk membuat perpustakaan keliling desa  dilengkapi laptop dan Wifi gratis. Semua demi mengusahakan agar anak-anak bisa belajar dengan lebih baik di tengah pandemi ini” kata Pak Maryoto panjang lebar.

Terhenyak Yu Minuk mendengar penuturan Pak Carik Maryoto. Runtuh sudah dinding prasangka kecurigaan terhadap Pak Wi yang meninggi di dalam hatinya. Pak guru baik hati itu rupanya tidak hanya duduk manis saja makan gaji buta berbulan -bulan. Yu Minuk belajar bahwa sudah saatnya dia perlu melihat sisi  lain seseorang sebelum mendalamkan prasangka dalam hatinya.

Tiga hari kemudian, tergopoh-gopoh Yu Minuk membawa setangkup pisang kepok matang dari kebunnya ke arah rumahnya Pak Wi. Di belakangnya, Gendhuk Raviola mengikuti. Pak Wi dan Bu Wi menyambutnya dengan suka cita, apalagi dengan kabar baik bahwa simboknya Yu Minuk sudah membaik.

“Kalih anuu .. Pak Wi, Bu Wi,“ agak ragu Yu Minuk menyampaikan, tapi melihat wajah ramah Pak Wi dan istrinya, Yu Minuk melanjutkan mengutarakan maksudnya,”Minta tolong Gendhuk saya ini diajari membuat video untuk tugas sekolahnya. Ehmm.. kalau boleh saya juga mau ikut belajar membuat video yang sip. Sejak Gendhuk Raviola posting masakan klepon saya di YouTube, eh jadi ada yang pesan klepon ke saya. Apalagi upload videone nggih gratis, pakai kuota pendidikan dari Pemerintah. Kalau videonya makin sip, nanti pasti makin banyak yang pesen masakan ke saya to, Pak?!”

“Nah, ternyata ada manfaat juga bukan dari penugasan membuat video. Belajar itu memang bisa lewat banyak cara. Yang penting terus semangat,” kata Pak Wi, melihat Yu Minuk semangat, ia mulai bercanda riang, “Tetapi belajar membuat video itu harus membayar aku mahal lho, Yu. Engko ndak aku raiso tuku Alphard.”

“Yungalaah, Pak Guru niku, saya waktu itu cuma bercanda lho,” tukas Yu Minuk salah tingkah,” Biar gayeng seperti kata Pak Gubernur di tipi tipi itu lho.”

Sore itu suasana paseduluran semakin remaket dengan riang di teras rumah kayu Pak Wi. Pandemi bisa saja tak cepat berlalu, tetapi semangat untuk terus maju dalam belajar tidak boleh cepat pudar. Yang namanya belajar itu ya bisa dari apa saja, dari mana saja. Segala sarana yang ada harus dimanfaatkan agar pendidikan tak mandheg diterjang pandemi. 

Malam semakin larut, terdengar bunyi kodok saling bersahutan dari tepi kolam meramaikan malam yang mulai gerimis di desa Kenitu. Nada indahnya naik turun menyampaikan penuh harap akan berkah hujan setelah kemarau yang panjang. Tak putus asa mereka bersenandung harapan. Yah, mungkin kita juga harus belajar dari para kodok itu. 

***
Alhamdulillah cerpen ini ngrejekeni :) Saya bisa jadi dapat piala bling bling dan amplopan yang lumayan untuk beli minyak goreng. Ceritanya ini dipaksa nulis cerita pendek yang diadakan untuk para guru di sekitaran kota kami. Sekolah diminta mengirim satu perwakilan, dan sayalah yang ketiban sampur. Diambil tiga pemenang dan surprisenya, saya diantaranya, mayan dapat nomer tiga. Ndak hebat banget sih sebenarnya ,haha.. tapi bagi saya;  ampuun! Nulis cerita fiksi itu susah banget. Saya lebih suka menulis materi pelajaran atau artikel non fiksi yang berdasar pengetahuan ilmiah. 

Jadi begitulah, memeras otak , meramu cerita. Weew, ternyata cukup megap - megap. Gaya cerita saya rupanya terpengaruh penulis favorit saya macam Umar Kayam, nyantai keseharian dengan sisipan bahasa lokal. Tapi tentu saja karya saya masiiih jauh banget dari ruh tulisan beliau yang begitu melegenda. Waktu stuck menulis cerita rupanya tanpa sadar saya terpengaruh gaya ceritanya mas dan mbak blogger muda nan santai yang sering saya kunjungi, misalnya blognya mbak mbul, mas satria atau mas agus. Cerita mereka bisa nyantai aja seperti ngobrol diangkringan sambil nyruput teh panas, nyomot gedhang goreng.

Kalaupun kemudian cerita ini dapat rejeki, menurut saya itu lebih karena faktor keberuntungan. Mungkin waktu itu jumlah guru yang mengirim cerita cuma dikiiiit.. ehehe. Alhamdulillah belajar menulis itu bisa ngrejekeni. Kalau saya aja yang masih alakadarnya bisa, saya yakin njenengan jauh lebih bisa. Ayo mulai tuliskan idemu sebebasnya mulai sekarang. Siapa tahu dapat rejeki nomplok juga hehe


Oya rupanya saya terlalu banyak memakai Bahasa Jawa di cerita, kurang bagus ini, saya beri contekan kamusnya yaa:

gogrokan  =  daun kering yang jatuh
Monggo Pak Guru Wi = Mari, Pak Guru Wi (Biasanya dipakai saat menyapa)
Sugeng enjang. Mbah Tomo. Pun ajeng tandur niki? = Selamat pagi Kakek Tomo. Apakah sudah waktunya menanam jagung di sawah kakek?
paseduluran = persaudaraan
si Mas Bakul sayur keliling = Si Abang penjual sayur keliling.
Lha piye meneh,Yu = Yah, bagaimana lagi ya Kak?
Wong nganggo kata ‘gaji’ ngono lhoo = Pokoknya pakai kata 'gaji' begitu lhoo
Nembang Dandhanggulo = Menyanyikan lagu tradisional Jawa Tengah yang berjudul DandhangGulo
Gembor = alat untuk menyiram tanaman, biasanya bahannya dari seng.
Wah, ono tamu agung to iki tibake. Ayo mlebu, Yu = Wah, ada tamu istimewa ya ternyata. Ayo, silakan masuk,Kak.
Nopo sakniki Pak Wi seneng sinden? = Apa sekarang Pak Wi menyukai sinden
Sinden = Penyanyi wanita yang menyanyikan lagu tradisional Jawa, misalnya untuk mengiringi wayang.
Simbok = Panggilan untuk 'ibu' di beberapa daerah pedesaan Jawa Tengah.

Salam Hangat dari Ndeso,


You Might Also Like

18 comments

  1. Alhamdulillah dapat juara tiga ya mbak Dewi, dapat piala dan hadiah untuk beli minyak goreng buat sebulan.😀

    Menurutku bukan keberuntungan cerpen ini jadi juara, alur ceritanya bagus dan mengalir lancar, kemudian obrolannya juga natural khas ibu-ibu kalo ngosip, dan yang penting bisa menyampaikan apa yang jadi judulnya yaitu bahwa guru tidak makan gaji buta selama pjj tapi malah lebih repot karena pekerjaan, harus buat video pembelajaran dll.

    Semangat mbak.😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mayaaan banget mas agus. Makasih sudah jadi bagian inspirasiku waktu menulis cerita pendek.pokoke akan terus rajin main ke blog sarilah

      Hapus
    2. Sama-sama Bu guru.

      semoga kalo ada lomba menulis cerpen lagi bisa juara dua atau malah juara pertama.😄

      Hapus
    3. Aaamiiin ya robbal'alamiin
      Makasih mas agus

      Hapus
  2. Menarik mbak, membacanya aku jadi merasa seolah ikut nongkrong disana 🤣

    Selamat mbak juara 3 👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali kali ikut Nongkrong sama ibuk ibuk beli sayur,mas jaey :)

      Hapus
  3. apiiiiiik tenanaaaan mbak wi, nda boong aku...nda pereus wkwkkwkwk...aku jadi berasa kayak liat film film pendek gitu dengan tokoh akting macam bu tejo dan kawan kawan wkwkwkkw


    setting pedesaan kenitu dengan latar ladang jagung yang menguning juga di bawah kaki gunung gandul, aiiis langsung kebayang betapa tentrem kehidupan di situ...

    tukang sayur lewat, ibu ibu rumpik wkwkkw..yu minuk nih kompor mbleduk hahahha suka berprasangka..alhamdulilah malah orang yang disuudzoni nulungin simboknya saat tetkena covid dan anaknya viola jadi diajari ndamel video en bisa memasarkan klepon ibunya...keren keren...wah kalau sastrawan umar kayam sih idola mbul mba wik hihi

    alhamdulilah cerpen yang relate ama realita ini menang dan dapat rejeki ya...tapi emang bagus sih...menarik gitu ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weisss dipuji mbak mbul rasanya jadi mabur mabur gituuu .ehehe
      Makasih lho mbak mbul jadi bagian inspirasiku menulis cerita. Pokoke akan terus berkunjung ke blog mbul imuut

      Hapus
    2. Naah aku setuju banget apa yang dikatakan sama Mbul buguru.😊😊

      Hapus
    3. Sama, aku juga setuju dengan komentar mbul.😊

      Hapus
  4. Wuuiihh buguru bikin cerpen. Pass Banget bu kalau dibuat cerpen dari jumlah tulisannya. Tapi kalau untuk judul menurut saya bagusnya adalah 'Prasangka', Judul 'Gaji Buta' juga bagus cuma ceritanya harus lebih panjang lagi.😊😊

    Saya juga bukan ahli cerpen atau sastra buguru. Dan intinya ceritanya sangat menarik sesuai tempat dan lokasi. Jadi adanya bahasa daerah pada cerita diatas itulah yang bikin menarik.😊😊 👍👍👍👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Good idea,mas satria. Kayake memang lebih pas kalau judulnya prasangka itu ya..lebih ngena.
      Kalau dulu pakai judul prasangka mungkin bisa jadi juara satu , ehehe
      Thank's sudah baca percobaan membuat cerpen saya ini :)

      Hapus
  5. congratulation....
    semoga semakin bersemangat untuk berkarya...
    👍👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank youu pak tanza.. terimaksih sudah berkenan manpir :)

      Hapus
  6. Aealnya agak bingung. Untung ada catatan kakinya. Selamat malam minggu, Mbak Dewi. Terima kasih telah berbagi kisah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya maapkeen :) bundanur ini dari Kerinci ya..pasti jadi kesulitan karena terlalu banyak bahasa Jawanya.
      Terimakasiiih sudah berkenan mampir bund :)

      Hapus