CERPEN BUKAN TAMU BIASA

00.17

Ini cerita tentang tamu istimewa yang bukan sekedar tamu biasa.



BUKAN TAMU BIASA

“Pak , cepet ada tamu.” Pagi itu bersemangat kami, berempat dengan anak-anak menyambut tamu. Bersegera memberesi beberapa mainan yang tercecer di ruang tamu. Menata bantal kursi yang agak menceng. Merapikan bunga plastik hiasan diatas meja. Senyum-senyum, kami semua refleks berjajar di sekitar pintu. Kalau dipikir pikir posisi kami saat itu mungkin kurang lebih seperti para petugas among tamu di hajatan manten.

“Monggo pak, silakan masuk.” Ternyata, tamu itu adalah seorang bapak-bapak petugas TV kabel menanyakan mengenai pemasangan sambungan baru. 

Lebay! Memang... tapi njenengan tak tahu sih betapa kami menantikan momen ini. Kedatangan seorang tamu di rumah kami sendiri. Yang mencari KAMI, bukan orang tua kami atau mertua kami. Bagi kami itu impian. Bagi kami itu sepenting pengucapan Proklamasi kemerdekaan di tanggal tujuhbelas Agutus.

Asal tahu saja - tidak sedikit waktu yang kami habiskan untuk memimpikan tamu yang mendatangi rumah milik kami sendiri seperti itu.

Resah. Terkadang hopeless. Akui saja perasaan itu bisa saja sering muncul saat kita terlalu lama mendekam di Pondok Mertua Indah. Tidak , bukannya saya mengeluh. Tapi saya rasa memang kodrat manusia, kalau sudah menikah inginnya segera mandiri. Punya rumah sendiri. Terpisah dari orang tua atau mertua. Terus kalau memang belum bisa bagaimana?  Lha ya itu, resah gelisah melanda.

Tujuh tahun. Dalam kurun waktu itu bisa dikatakan keluarga kecil kami nomaden. Berpindah pindah antara rumah mertua dan rumah orang tua saya yang hanya berjarak setengan jam perjalanan. Kartu KK masih beralamat di orang tua saya, tetapi sehari-hari lebih banyak tinggal di desa mertua.

Bukannya kami tidak berusaha, tapi maaf perumahan yang instan bukan impian kami. Keluarga kami memimpikan rumah dengan halaman luas dan empang ikan di kebun belakang rumah. O, ya.. kalau bisa lokasinya juga cukup sepuluhan langkah masjid.

“ Pantesan tidak segera dapat rumah sendiri, aneh – aneh kemauannya.” Beberapa suara mengingatkan. “Beli tanah, apalagi yang agak luas, mbangun rumah sendiri itu biayanya mahal, - banget!” 

Terpengaruh? Jujur , iya! Kadang maunya realistis dengan kondisi keuangan kami yang tidak berlebih. Tidak miskin sih, pendapatan kami masih cukuplah untuk sekedar nyicil sepeda motor, makan cukup enak sehari tiga kali, dengan sesekali jalan – jalan ke tempat wisata.

Tapi yang membuat keder, harga tanah memang makin melejit, apalagi harga semen, pasir dan besi waktu itu sedang meroket tinggi. Menabung sulit, berhutang banyak – takut tak mampu mengangsur. Hopeless..rasanya mau putus harapan saja.

“Kenapa harus berhenti bermimpi, lha wong Gusti Alloh saja membolehkan kita meminta surganya. Apalagi kalau CUMA meminta rumah dengan halaman luas, ada empang di kebun belakang dan dekat dengan masjid.” Jleb! Inbox seorang teman, dulu sekelas saat SMA,  membuat saya terbangun.

Terlalu galau, resah, dan merasa tak berdaya telah membuat kami lupa meminta. Menafikan bahwa ada Allah yang siap memberi. Sembari menata keuangan, kami merasa lebih bersungguh-sungguh meminta. ‘Lahaula walaquata illa billah’ memangnya apa daya manusia – dan benarlah tidak ada daya upaya selain dari Allah. 

Impian dimulai

Kemudian impian itu mulai menjadi perjuangan. Setelahnya, setiap ada berlebih pendapatan, kami upayakan mencicil beli satu dua pohon hidup yang dijual tetangga atau saudara. Setelah menunggu beberapa bulan ada sedikit tabungan, tertebanglah pohon itu.

Jangan dibayangkan langsung jadi inep pintu, kusen atau usuk reng untuk atap. Kami harus menunggu setahun dua tahun kedepan untuk menyewa tukang kayu dan mengolahnya.

“Tak apa, buk. Kayunya bisa direndam dulu. Kata orang tua jaman dulu. Kayu tebangan yang direndam nanti akan jadi bahan bangunan yang lebih kuat,” bapaknya anak-anak mencoba menghapus aura negatif dari mulutku yang masih sering mecucu, cemberut, tak sabar menunggu rumah baru. 
Impian berproses

Sungguh, saya kadang berharap dongeng itu nyata ada. Tiba-tiba menemukan lampu ajaib di balik kolong tempat tidur tua milik ibuk mertua, yang saat saya terbangun tidur nanti, paman Jin sudah selesai membangunkan sebuah rumah baru yang megah lengkap dengan isinya. Plus mobil, yaa paling tidak avansyah atau agiah lah, tertata di garasi. Tanpa mikir hutang!

Ah, sudahlah. Mana ada yang seperti itu di dunia nyata. Lagipula saya tidak yakin apa bisa untuk TIDAK lari terbirit-birit ketakutan bila memang benar ada Jin super ganteng wuzzz.. keluar dari sebuah lampu. Tepat di depan mata kepala saya. Sedangkan melihat bayangan pohon kelapa di kegelapan saja saya langsung menjerit, mengira itu gendruwo sedang mengintip.

Realitisnya adalah kami harus merelakan THR tahun depannya untuk membeli sekedar beberapa truk batu hitam. Memberi DP pembuatan bata dan genteng saat beberapa bulan kemudian  mendapat uang berlebih dari arisan RT.

Lamaaa dan ada perjalanan berliku seperti itulah untuk kami kemudian bisa berhasil mendapatkan rumah baru. Yang ajaibnya, tiba-tiba saja kami mendapat penawaran yang cukup memudahkan kami untuk mendapatkan tanah yang leluasa dengan lokasi yang cukup strategis. Dan hanya berjarak tiga rumah dari masjid!

Sungguh, saya kemudian dibuat percaya akan kekuatan impian, doa permintaan tulus , mencicil berusaha sebisa kita, - dan biarlah Allah yang mengurus sisanya!

Pindah jangan sekedar fisik

Begitulah.Sekarang panjenengan semua bisa mengerti kan mengapa kedatangan tamu pagi itu bisa membuat kami jadi setengah alay dan begitu excited. Pindah ke rumah baru adalah impian kami bertahun-tahun. Dan setelah beberapa hari menempati rumah baru, kedatangan tamu adalah seperti pengakuan legitimasi akan keberadaan kami di rumah istimewa milik kami sendiri ini.

Menjelang matahari memanjat ke puncak, datanglah tamu berikutnya. Kali ini ibuk-ibuk tua penjaja bantal dan guling.

“Ini bantal dan gulingnya dari kapuk randu asli lho bu.  Bu Jayus dari desa sebelah itu, sudah sering beli dari saya. Kasurnya yang lama juga belum lama ini saya rombak biar tidak kempes lebih mentul-mentul, ” katanya nyerocos, sesaat setelah menurunkan dagangannya di dalam rumah.

Begitu menyebut referensi nama seorang saudara, saya segera nyambung kalau beliau ini pasti dari desa sekitaran kami saja. Sekitar seperempat jam perjalanan sepeda motor dari rumah saya yang baru.

Wau, nitih nopo buk?” tanya saya basa-basi, sambil mengkode si genduk mengambilkan sekedar air putih buat si ibuk.

Sambil menyeruput air, beliau kemudian menjelaskan kalau tadi bareng ponakannya naik sepeda motor sampai gang depan. Katanya mengantar pesanan seseorang di sekitaran sini. Karena mendengar bahwa kami baru saja menempati rumah baru di dekat arah yang dia tuju maka dia memutuskan mampir.

“Rumah baru tentu saja memerlukan banyak bantal dan guling yang baru. Apasekalian kasur juga ?”

Dan benar saja ujung – ujungnya si ibu mengeluarkan jurus terakhirnya, “Dilarisi njih bu guru , ini masih ada beberapa bantal dan guling sisa pesanan ibu tadi. Dibeli semua saja, ini dua bantal, dua guling, pas sepasang-sepasang buat si genduk dan thole yang ngganteng ini”

Baru saja saya mau beralasan tak membeli, kami sudah mempunyai bantal dan guling dikasih orang tua kami, lagipula si bapak sedang keluar. Sang tamu ini memotong tangkas, “Saya kasih murah saja. Daripada jauh-jauh saya bawa pulang balik. Nanti saya mau naik minibis, repot kalau masih bawa sisa dagangan.”

Manalah tega tak membayarnya. Anak-anak pun sudah begitu gembira memeluk bantal dan guling mereka masing-masing, bawaan tamu kita hari ini. Si tamu pun pulang dengan sumringah, menjanjikan akan mampir lagi untuk membenahi barangkali kasur saya ada yang rusak, jika kelak pas berdagang di sekitar sini. Sambil menjalin silaturahmi katanya -  membuatku tak jadi berucap,”Sini pakai kasur busa semua buk.”

Begitu bapaknya anak-anak pulang, saya ingin segera menceritakan tentang tamu penjual bantal guling tadi. Tapi si bapak malah sudah perintah duluan, “Buk, cepakne teh panas segelas. Ini tadi saya di perempatan depan jalan raya sana ketemu simbah tua bawa dipan dari bambu. Kasihan ndak ada yang beli. Itu mbahe rumahe sebenanrnya tetangga desa kita yang dulu, jauh-jauh jalan sampai sekitar sini. Tadi sudah takancer anceri rumah sini.”

Dan itulah tamu kita selanjutnya. Aiihh.. apa tidak ada tamu yang muda, ganteng – ganteng gitu, yang macam oppa di drama korea gitu, membawa oleh-oleh spesial datang sebagai tamu rumahku? Baiklah, mungkin besok ya.

Yess, tidak perlu menunggu besok. Malamnya, kami mendapat tamu membawakan pisang, oleh – oleh spesial panenan hasil kebun mereka. Sebentar, jangan dikira ini oppa Korea yaa... tamu kali ini malah lebih tua dari yang sebelumnya. Sepasang mbah kakung dan mbah uti pulang dari magripan di mesjid. Mengenalkan diri sebagai tetangga baru. Rumahnya dekat. Hanya berjarak dua rumah, di ujung jalan. Malu juga sebenarnya, harusnya kami yang sowan lebih dulu. Maafkan kami, mbah.

Tapi diantara para tetamu itu, yang paling unik adalah kedatangan tamu kami di kemudian hari. Tidak hanya sekali, tamu spesial kita kali ini kemudian mendatangi rumah kami berkali-kali. Kadang sebulan dua kali kadang sebulan sekali. Adalah dia, seorang lelaki tua, mungkin sekitar tujuhpuluh tahunan. Si Embah ini berperawakan jangkung, berkulit hitam dan berbaju lumayan rapi meski agak lusuh. Dengan rokok yang tak berhenti mengepul barang sedetikpun!

Kali pertama datang saya sudah langsung mendelik begitu suami mempersilahkan masuk dan ngobrol di dalam rumah. Asap rokoknya itu lebih ngeri dari cerobong pabrik yang baru dibangun di ujung kota. Bergulung – gulung tak henti dari tembakau rokok yang jelas murahan memenuhi rumah. Tetap dibuatkan teh. Tapi tidak sepenuh hati membuatnya, bening, manget-manget, tak begitu manis. Tidak ginastel sama sekali.

Tapi kalau jujur, sepertinya tamu ini kemudian jadi lebih tidak saya inginkan bukan hanya karena asap rokoknya. Itu karena pada hampir di setiap kunjungannya dia ada maunya.

Pada akhirnya setelah lebih dari sejam ngomong ngalor ngidul, si embah ini sekalu di ujung-ujungnya minta pinjam uang. Dia selalu menceritakan kesulitannya perdagangannya dan perlu uang untuk pulang. Perlu pemasukan agar tidak terlalu merugi. Tak terlalu banyak sih mintanya, tidak sampai berjuta-juta, paling sekitar limaratusan ribu kebawah.

Fiktif? Entahlah. Yang jelas setelah dikonfirmasi dengan seorang anaknya yang tinggal di desa tak jauh dari kami, si embah itu sebenarnya sudah tidak diperbolehkan berdagang oleh anak-anaknya.

Memang si embah kadang keluyuran begitu, tanpa pamit, berlagak berdagang keliling. Dagangannya apa , saya tidak begitu yakin. Karena setelah mendengarkan ceritanya berkali-kali, sepertinya itu cerita jaman kehidupannya dulu. Setting dan alur ceritanya membuat kami yakin kalau beliau ini sepertinya terperangkap di memori bertahun lalu. Dan ceritanya sebenarnya itu-itu saja.

Kedatangannya yang kedua, saya sudah males keluar. Bapaknya anak-anak sudah saya ultimatum, “Awas kalo dibawa masuk! Awas jangan dikasih uang kalau bilang pinjam. Paling juga tidak dikembalikan kayak dulu.” Teh tetap keluar dengan mengandalkan si genduk untuk menyajikan. Semakin jengkel karena pada akhirnya si bapak tetap mengulurkan uang kepada si embah. Kasihan katanya.

Kedatangan ketiga kami segera tutupan pintu begitu si embah terlihat di ujung gang. Kami berdiam didalam rumah dengan korden tertutup rapat seolah-olah rumah kami suwung.

Kedatangannya yang berikutnya, saya sudah males keluar. Si kangmas sudah saya ultimatum, “Awas kalo dibawa masuk! Awas jangan dikasih. Paling juga tidak dikembalikan seperti dulu.” Teh tetap keluar dengan mengandalkan si genduk untuk menyajikan. Semakin jengkel karena pada akhirnya si kangmas tetap mengulurkan uang kepada si embah. Kasihan katanya.

Kedatangan ketiga kami segera tutupan pintu begitu si embah terlihat di ujung gang. Kami berdiam didalam rumah dengan korden tertutup rapat seolah-olah rumah kami suwung. Beberapa kali mengintip dari balik tirai jendela, si embah masih duduk di emperan rumah.

 Kami meruntuki pelan“Aisshh.. mbok ya cepet pergi ini si tamu tua tak diundang. Apa tidak bisa tamu itu yang ganteng-ganteng saja macam oppa di drama Korea, dengan membawa bunga dan oleh-oleh. Ini tamu kok dapatnya yang tua-tua macam gini.”

Anehnya beberapa tamu perdana yang datang ke rumah kami setelah si embah itu, memang rata-rata berusia lanjut. Saya ingat ada ibuk-ibuk tua penjual bantal dan guling, ada  Pak Min tua tetangga belakang rumah menjelaskan soal kambing peliharaannya yang mungkin akan membuat kadang bau jadi tidak sedap, dan yang terakhir si penjual balai bambu sepuh yang belum juga laku dagangannya. Mana tega tak membelinya.

Si embah antik itu tetap datang lagi. Kedatangan berikutnya saya sudah berniat menemuinya. Saya berniat untuk keras terhadap tamu satu ini. Si kangmas juga sudah mulai jengah dan memilih ngumpet di teras belakang saja sambil mengecat sebuah lemari tua.

Begitu si embah mulai cerita, saya menyerobotnya dengan menceritakan keuangan kami yang cukup sulit karena biaya sekolah anak-anak sekarang makin mahal. Berharap dia tidak lagi minta uang. Berkali kemudian si embah menanyakan bapaknya anak-anak. Dan duuhh..saya mulai berbohong.

Anehnya si embah kemudian berulang minta izin ke kamar mandi di belakang rumah. Haduuh semakin seru. Bersusah payah melarangnya dan mengulur waktu. Mengkode si kangmas dengan lihai agar bisa pindah bersembunyi ke dalam kamar tanpa si embah melihat. Rusuh. Deg – deg an. Seperti sedang main film detektif.

Segera setelah kode ‘clear’ – aman, saya persilakan si bukan tamu biasa ini menuju ke kamar mandi belakang. Harusnya saya puas ya ketika akhirnya kemudian si embah pulang - tanpa bisa bertemu suami, tanpa uang sepeserpun dberikan. Tetapi mengapa perasaan saya malah menjadi ada rasa tidak nyaman. Seperti ada yang salah.
Tamu istimewa berlalu pergi


Beberapa hari kemudian ada saudara  saya bertamu. “Eh, mbak,aku kemarin ada pengajian di sekolahan. Ustadnya seru,” katanya menceritakan pengalamannya di tempat dia mengajar.

“ Kata ustadnya, kalau ada tamu minta hutang itu ya seharusnya dikasih. Ya sebisanya lah. Karena tamu yang meminta pinjaman itu kan berarti hatinya sudah memilih rumah kita untuk dituju. Padahal yang berkuasa membolak-balikkan hati kan Gusti Allah. Ya termasuk hatinya si yang datang ke rumah kita itu. kedatangan dan kepergian seseorang itu bukannya tanpa ijin dariNya. Mulane nek aku pinjam duit rene kiy ojo ditolak,*2” ceriwisnya sambil bercanda. Dia tidak sedang pinjam uang ke saya kok.

“ Awas lho, jangan-jangan tamu kita itu diikuti malaikat,” imbuhnya setengah berdalil.

Saya tidak tahu apakah dalil yang disampaikan saudara saya hari itu shahih atau tidak. Yang jelas cerita dia tiba-tiba mengena di hati saya. Membuat saya flash back perlakuan saya akan si embah, tamu antik yang berkali-kali datang. Ini mengherankan karena saat itu kami sedang tidakm enceritakan masalah tamu dirumah saya.

Yang jelas saya jadi ngeri membayangkan. Jangan – jangan saat si embah tertolak masuk waktu itu, malaikat pun jadi enggan masuk rumah kami. Jangan – jangan saat si embah berlalu pulang dengan wajah kecewa itu, malaikat pun  ikut pergi tak jadi membawa berkah ke rumah kami. Astaghfirullohaladzim....

Dari kamar sayup-sayup terdengar si genduk sulung kami sedang mengulang hafalan mengajinya dari kamar. ‘Abasa watawalla.. an jaaa ahul a’ma*3... aihh semakin malu tertampar hati ini.

Bahkan Rosullulloh yang agung tanpa cela pun sampai ditegur langsung oleh Allah saat sekedar bermuka masam pada tamunya yang buta. Padahal Rosul punya alasan yang penting saat itu. Dan saya ini apa! Sampai berani-beraninya membohongi dan mengirim pulang tamu seolah mengusirnya.

Saya coba berkaca. Hijrah – pindah rumah harusnya bukan hanya pada lahirnya. Saat Sang Pengabul Doa sudah begitu bermurah hati mengabulkan impian dan memampukan untuk memiliki sebuah  rumah, harusnya hijrahkan hati ini juga. Hijrahkan menuju syukur sepenuh hati.

Hijrahkan hati menuju rasa cukup dan ridha dengan pemberian-Nya. Termasuk bersyukur atas tamu yang diberikan untuk mendatangi rumah kita. Kita tidak bisa memilih tamu yang datang rumah kita, tapi kita bisa memilih untuk melayaninya dengan sebaik-baiknya semampu kita. Tanpa nggrundel,” Entuk tamu kok tuwek!”*4

Lain kali si embah datang, kami , terutama saya, mencoba melayani lebih baik. membuatkannya teh ginastel *5 lengkap dengan camilan. Soal asap mengepul, setelah kedua anak kami cium tangan beliau, kami bilang terus terang dengan nada sopan, bahwa anak-anak kami mudah batuk kalau kena asap rokok. Si embah pun berkenan bercerita panjang di teras saja. Dia bilang sambil mengawasi anak kami yang sedang bermain. Seolah cucunya.

Saya kemudian mencoba menikmati ceritanya.Anggap saja sedang naik mesin waktu yang mundur ke tahun tujuh puluhan.

Dan kalau beliau tampak sudah mau pulang, dengan seikhlas mungkin kami selipi beberapa lembar puluhan ribu semampu kami, bahkan sebelum beliau minta. Sambil membungkuskan sekedar pisang godhog atau singkong goreng kesukaannya untuk bekal di jalan.

Saya mulai meyakini, bahwa, kita tidak bisa memilih siapa tamu kita. Tapi, kita selalu bisa memilih untuk melayani mereka sebaik baiknta yang kita mampu.

Sungguh yang kemudian datang adalah perasaan yang begitu nyaman. Serasa hati berhijrah ke sebuah rumah indah diantara padang luas penuh bunga dandellion putih yang anggun tertiup angin. Lapang dan tenang.

Epilog:
Belum lama ini di sekitar menjelang bulan bulan akhir 2023, kami mendapat kabar bahwa mbah kakung ini sudah meninggalkan dunia ini. Pantesan lama tidak muncul. Terakhir beliau datang saya pas masih di tempat kerja, suami saya yang kebetulan shif sore pas ada di rumah waktu itu. Terakhir kali beliau menawarkan sebuah dingklik, tempat duduk kayu yang kayunya pun alakadarnya. Seperti biasa suami saya membelinya, bukan membeli sebenar benarnya beli, lebih tepatnya usaha memuliakan tamu. Alfatehah, mbah. Njenengan tetaplah tamu teristimewa di rumah impian kami ini.



Keterangan :
*1 manget-manget : hangat (bahasa Jawa)
*2 Mulane nek aku pinjam duit rene kiy ojo ditolak : Makanya kalau aku pinjam uang kesini itu jangan ditolak (bahasa Jawa)
*3  ‘Abasa watawalla.. an jaaa ahul a’ma : Qur’an Surah ‘Abasa (Ia Bermuka Masam), surah ke- 80, 42 ayat. 
*4  ” Entuk tamu kok tuwek! : Dapat tamu kok tua umurnya. (Bahasa Jawa)
*5   ginastel : Singkatan dari kata; legi, panas, dan kenthel, untuk mendeskripsikan sajian teh yang lezat menurut versi orang Jawa Tengah. Tehnya harus manis, panas dan kental.



      Salam,












You Might Also Like

34 comments

  1. Ceritanya hampir sama dengan saya Mbak. Tidak menyangka bisa membangun rumah sendiri, walaupun harus bersabar selama hampir 3 tahun lebih. Sungguh kuasa Allah di atas segalanya. Dan memang setelah kita tinggal di rumah sendiri, rasanya lebih nyaman dan tenang. Memang jadi sering kedatangan tamu sendiri ya, yang modelnya juga macam-macam hehehe. Semoga berkah dengan rumah barunya Mbak.

    BalasHapus
  2. Amiin ya robbal alamiin. Betul mba' Ulfah, sungguh tidak menyangka bisa membangun rumah sendiri. Terasa lebih tenaang dan nyaman. Walaupun belum full sempurna bangunan rapi sih . Sudah bersyukuuur bgt ini bisa berdiri seperti ini. Thanks sudah mampir ☺

    BalasHapus
  3. Masih galfok ini cerita nyata sedang mbangun rumah atau cerpen tentang mbangun rumah bulak-balik nggak Nemu wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi jangan bingung mis.. Kan sejak awal saya bilang, ini cerpen bukan pure fiksi. Cerpen kan memang ada dua macam, cerpen fiksi dan non fiksi. Yang cerita ini masuk yang non fiksi. Gitu miss.. Thanks for reading 😘

      Hapus
  4. Selamat ya mba.. alhamdulillah akhirnya rumah impian terbangun. Saya sendiri sudah merasakan jadi kontraktor bertahun2. Sampai akhirnya kami bisa membeli rumah (bukan bangun sendiri), legaaa sekali. Orang tua juga senang akhirnya punya rumah sendiri. Alhamdulillah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bersyukuuur banget kita yaa mbak.. Beli atau membangun sendiri sama aja ehehe.. Sama nyamannya, sama leganya. Semoga rumahnya selalu membawa kebarokahan, mbak kartika ☺

      Hapus
  5. Sebenarnya ga beda jauh dg saya, hanya beda jalurnya. Ibu saya menetapkan kpd anak yg telah menikah, wajib pindah dr rumah setelah seminggu ijab kabul. Dg tujuan agar merasakan menjadi istri/suami & memgurus rt & keluarga.

    Jadi waktu pertama bekerja, niatnya harus bisa membeli rumah. Alhamdulillah setahun bekerja ku dpt membeli rumah KPR, dr ung selain gaji. Krn gaji saya beriman ke ibu untuk membantu biaya sekolah adik2.

    Selamat ya Mba, bisa mewujudkan mimpinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaw..itu prinsip bundanya mbak ningsihali keren bgt. Saya juga InsyaAllah kelak juga pengen menerapkan itu.
      Anak begitu ijab qobul segera mungkin mandiri. Mencoba kehidupan berumah tangga sendiri. Saya merasa selama tujuh tahun itu jadi keenaken, kurang mandiri. Makanya bersyukur bgt pas bisa belajar mandiri.

      Hapus
  6. Jadi teringat sekitar tahun 2012, yuni rumah yuni baru rumah dari gubuk. Belum dinding bata. Dan mashaAllah, jarang sekali tamu yang datang. Malah pernah ada tamu yang datang hanya menghina kehidupan keluarga kami karena kebetulan putranya yang menyukai saya.

    Ah, mengingat itu membuat saya berpikir, betapa kuat keinginan mama saya untuk segera membangun rumah yang baik. Setidaknya tidak ada yang memandang rendah kehidupan putrinya. Tidak ada lagi yang malu untuk bermenantukan putrinya karena rumahnya.

    Saat ini, karena perjuangan kami sekeluarga, rumah kami sudah nyaman seperti rumah orang - orang kebanyakan. Tidak ada lagi yang mencibir atau merendahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang kadang gitu yaa mba yuni..menilai dari apa yg kita punya. Padahal kita dah bersyukuuur bgt dng apapun keadaan rumah kita, tapi kadang orang membuatnya jadi kurang nyaman dengan berbagai nyinyiran.
      Tapi untung keluarga mba yuni bisa mengubahnya jadi hal positif. Jadi semangat membangun rumah yg lebih baik. Semoga barokah ya mba rumahnya. Aamiin

      Hapus
  7. Alhamdulillah sudah punya rumah ya Mbak.
    Semoga berkah untuk semua.
    Diberi kemudahan untuk perjalanan selanjutnya dan kesuksesan makin berdatangan di rumah milik sendiri ini.
    Saya senang membaca cerita tentang hijrah, rumah batu dan tamu di artikel ini.
    Dan setuju jika kita tidak bisa memilih siapa tamu kita. Tapi, kita selalu bisa memilih untuk melayani mereka sebaik yang kita mampu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Doa yg terbaik juga untuk keluarga mba dian ☺

      Hapus
  8. Masyaallah terima kasih sharingnya mbak.semoga si mbah sehat selalu ya.semoga rezekimbak juga lancar dan berkah. Saya pun memimpikan rumah semoga tercapai .amiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga impian mba eni sekeluarga menjadi kenyataan juga

      Hapus
  9. Ah tamu :"
    Sebelum menikah, tinggal bersama orangtua. Tiap kali ada tamu, tinggal bilang ke umik atau abi supaya nemuin tamunya.

    Sekarang berumah tangga, tamu itu adalah tamu saya.
    Masih harus belajar banyak mengenai menghormati tamu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa nih, saya sebenernya old couple.. Tapi baru kesampaian punya tamu sendiri setelah sekian tahun ehehe
      Beruntung keluarga bunga dan rumput bisa langsung cepat mandiri

      Hapus
  10. Saya juga sudah lama mengimpikan punya rumah sendiri. ya pelan-pelan mulai tampak terwujud.
    Sebenarnya saya juga pernah punya rumah, dulu awalnya juga mustahil terbeli. Ya begitulah keajaiban, rezeki tidak terduga datangnya. Ada orang yang rela menjual rumahnya dengan cara saya disuruh mengasur. Dalam batas tidak tertentu, pokonya sampai lunas.
    Tamu yang datang, ya selayaknya untuk disambut dengan senang, jika berhutang ,dalam kadar masih mampu ya ditolong atau bahkan diberikan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga rumah impian mas makiin dekat jadi kenyataan. Kita memang jadi terkagum kagum sendiri dengan caraNya mewujudkan impian untuk punya rumah sendiri. Thanks for reading my story

      Hapus
  11. Wah, Alhamdulillah.. sudah punya rumah sendiri.
    bangun sendiri pula, gak ikut cicil2 rumah.. keren mbaa.

    selamat yaa, semoga berkah.. :)

    BalasHapus
  12. Ceritanya bagus, Kak. Saya juga percaya, tiap meminta pada Allah, pasti akan mendapatkan. Cuma waktu dan caranya terserah yang memberi. Soal kakek itu, saya yakin pasti ada pahalanya suatu saat nanti. Kalau pengalaman keluarga saya, pahalanya datang setelah anak-anak (maksudnya saya dan adik saya) kerja mandiri. Katanya kami gampang cari kerja yang bagus karena orang tuanya suka membantu orang lain. Dulu orang tua saya pernah meminjamkan uang ke tetangga yang butuh banget, terus nggak bisa mengembalikan. Jadinya hutang dibayar dengan piring dan gelas. Ya apa boleh buat. Tapi orang tua saya nggak pernah ngomel, lho.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah inspiratif sekali mba.. Pengen juga bisa jadi jalan mempermudah anak anak kita nantinya. Harus makin belajar ikhlas nih.
      Semoga bisa yaa. Aamiin

      Hapus
  13. Selamat ya Kak sudah bisa membangun rumah sendiri dan aku bisa memetik kisah tentang hijrahnya. Terima kasih ya Kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. You're welcome inid. Terimakasih. Semoga impian inid juga segera terwujud

      Hapus
    2. Aamiin...
      Eh, nid baru dapet cerita kemarin. Kayaknya juga setema.

      Aku main ke warung tetangga diajak keponakan. Terus tetangga cerita2 soal beliau kalau jualan kasih harga murah meriah. Harga disampain satu-satu.

      Aku ceritain kondisi ini ke Ibuku dan aku bilang "kasihan kalau masih ada yang hutang tapi nggak bayar2 & malah ngilang". Lalu, Ibu cerita kalau ternyata si ibu penjual warung ini cerita ke ibundaku kalau banyak yang nggak bayar hutangnya dan ngilang.

      :( Ya ampun, kasihan banget. Niat hati pengen ngasih kemudahan buat tetangga, malah banyak yang hutang nggak kembali.

      Aku malah keinget cerita hijrah ini. Hijrahnya mereka kapan sih?

      Hapus
    3. Jadi melihat dari sudut persepsi yg lain nih. Kalau bertamu, apalagi berhutang itu ya harus menjaga perasaan yg punya rumah. Tamu atau orang yg punya hutang ya harus hijrah yaa
      Ke arah yg lebih baik juga.

      Hapus
    4. Iya Kak... Aku jadi semakin sadar juga karena cerita ini juga. Makasih ya Kak.

      Semoga orang-orang di sekitar kita dan kita sendiri bisa hijrah ya Kak.

      Semangat Kak!

      Hapus
  14. kata guru saya wajib menjamu dan melayani tamu sampe 3 hari. Sesudah itu baru bole tanya mksd kedatangannya. Gitu sih katanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ilmu menarik nih. Totalitas melayani tamu :)

      Hapus
    2. Klo jaman skrg blm sempat duduk aja udh ditanya.. mo ngapain? :D

      Hapus
  15. Terimakasih sudah berbagi ceritanya mbak. Mengingatkan tentang kuasa Allah yang sangat besar. Semoga rumahnya berkah untuk mbak dan keluarga. aamiin.

    BalasHapus
  16. Masha Allah, kuasa Allah nggak ada yang bisa direka dengan akal manusia.
    Kadang merasa pesimis, bisa nggak ya? karena terlihat sungguh mustahil.
    Tapi siapa sangka bisa lebih dari yang dipikirkan.
    Alhamdulillah :)

    BalasHapus