Pahlawan Sunyi dari Sitiung; Sebuah Kisah dibalik Pembangunan Waduk Gajah Mungkur
01.15“Mbok rasah mangkat piknik sik nduk, malam akan datang tamu dari Sitiung.” Aku masih ingat kata nenekku dini hari tadi. Setelah salat subuh, nenek mendatangi kamarku, melarangku ikut piknik hari ini karena nanti malam kabarnya akan datang tamu dari Sitiung.
Aku begitu sebal. Rasanya aku ingin teriak marah – marah sampai semua penduduk desa mendengar. Aku bertanya dengan ketus ke nenek, “Seberapa pentingkah tamu ini sampai harus mengorbankan piknikku?”
Piknik ini memang sudah kurancang dengan teman sekelasku sejak tiga bulan yang lalu. Kami berencana untuk berwisata menginap di Kaliurang Jogja selama dua hari. Aku sudah berusaha keras mengumpulkan uang untuk piknik itu. Aku mendapat uang dari bekerja sebagai pegawai paruh waktu di restoran dekat Waduk Gajah Mungkur. Tugasku adalah membantu membakar ikan nila jika pesanan datang. Waduk ini memang telah jadi gantungan hidup bagi banyak orang, salah satunya adalah warung makan, toko, penginapan atau karamba ikan. Banyak area pertanian di kota lain sekitaran Wonogiri ikut merasakan manfaat bendungan ini.
Aku benci rencana bepergianku itu akhirnya gagal. Dan itu demi tamu dari tanah bernama Sitiung yang jaraknya seribu enamratusan kilometer dari rumah ini. Yang bahkan aku tak tahu namanya. Tapi aku juga tidak berani meninggalkan nenek seorang diri mengurus para tamu. Kakekku meninggal tiga bulan yang lalu. Bapak dan ibuku bekerja di Kalimantan. Mereka berjualan bakso. Mereka bilang ombak di lautan sedang tinggi, mereka tidak bisa segera pulang lebaran ini. Orang tuaku tidak punya cukup uang untuk pulang naik pesawat.
“Pokoknya kuputuskan aku benci tamu satu ini!” kataku dalam hatinya. Nenek tidak sanggup berkata banyak karena tahu kalau aku sangat kecewa. Aku beberapa kali mengomel sambil membereskan kamar untuk para tamu.
Entah mengapa nenek cenderung diam saja. Tangannya tetap membantuku membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuk para tamu tanpa bersuara. Saat malam menjelang larut, tak sengaja kulihat nenek duduk di ranjangnya memandangi sebuah lembaran kecil. Tak tega ketika perlahan terdengar isakan tangis lirihnya.
Dan aku makin benci tamu misterius yang akan tiba di rumah ini. Pasti tamu ini juga yang membuat nenek menangis seperti itu.
Nenekku bernama Mbah Sani, usianya 76 tahun sekarang. Nenekku ini sangat halus perangainya, tak pernah membuatku kesal. Dia tak pernah memaksa aku melakukan apapun sebelumnya. Dia dengan sabar merawatku saat ayah ibuku mencari nafkah di tempat yang jauh.
“Jane niki sinten to mbah tamune tik nganti kulo mboten saget piknik?” kutanyai nenek dengan bahasa Jawa halus. ( Tamunya ini sebenarnya siapa sih, Nek , kok sampai bikin saya ndak bisa piknik?)
Nenek terlihat berkaca kaca , tak sanggup menjawab. Tersuruk langkahnya menuju lemari kecil di samping tempat tidurnya, dari bawah tumpukan jarik dan kebaya, ditariknya selembar kertas.
Kertas itu rupanya selembar foto lusuh dari jaman dulu. Foto hitam putih dua anak perempuan kecil, berdiri di samping sebuah rumah kayu dengan sebuah pohon sawo besar dan sebuah sumur tua di latar belakang mereka. Kedua anak kecil di foto itu tersenyum bergandengan tangan.
“Niki sinten mbah?” Aku penasaran. ( Ini siapa, Nek?)
“Kui kembarane simbah. Mbah Suni asmane. Lha yo kui tamu sing arep teko,” jawab nenekku. ( Itu kembaran nenek, namanya Mbah Suni). Lalu perlahan kemudian meluncurlah cerita dari Nenek.
Waktu itu tahun 1975 ada perintah transmigrasi di wilayah Wonogiri dari pemerintah. Desa Nenek termasuk yang akan ditenggelamkan untuk pembangunan waduk terbesar di Asia Tenggara, Waduk Gajah Mungkur namanya. Orang tua nenekku meninggal setahun sebelumnya. Nenek dan kembarannya yang bernama Mbah Suni, waktu itu berusia enambelas tahun. Mereka sebatang kara. Kembaran nenek diajak salah satu saudaranya untuk transmigrasi, Mbah Suni akhirnya pindah ke Sitiung. Itu adalah sebuah tanah yang jauh di pulau Sumatra. Tapi nenekku tidak bisa ikut pindah ke Sitiung karena waktu itu nenek sudah terlanjur mengikat janji untuk menikah dengan kakekku. Desa kakek ini tidak ikut ditenggelamkan. Nenek menikah dan tinggal di desa Kakek. Nenekku yang bernama Mbah Sani lalu terpisah dengan kembarannya, Mbah Suni.
Lalu mengapa mereka tidak pernah berhubungan? Mengapa Mbah Suni tidak pernah pulang ke Wonogiri? Aku harus menyimpan tanyaku ini karena dari luar terdengar ketukan pintu.
Itu adalah sebuah momen canggung dari tamu misterius dan pemilik rumah. Seorang perempuan tua yang mirip sekali dengan nenekku dituntun masuk rumah oleh seorang laki – laki dan perempuan seusia orang tuaku. Dengan wajah masam aku menyalami tamu itu. Laki – laki itu kemudian memperkenalkan diri, “ Maaf kami tiba larut malam begini. Saya Joko, anak dari Mbah Suni, dan ini istri saya, Maisyaroh. Kami sekarang tinggal di Sitiung Kecamatan Darmasraya, Sumatra Utara. Jauh – jauh kami datang untuk memenuhi permintaan ibu saya ini.”
Nenekku masih belum bisa mengucapkan sepatah kata. Terpaku diam saja dengan mata berkaca-kaca. Aku lalu spontan mengambil alih, dengan perasaanku yang masih sebal, aku mempersilakan mereka semua masuk rumah.
Nenekku dan kembarannya masih belum berkata - kata. Pikiran mereka seperti berkelana entah kemana. Setelah teh dihidangkan, aku tidak tahan untuk bertanya,” Mengapa selama ini kalian tidak menghubungi kami?”
Laki – laki yang kupanggil Paklik Joko menjelaskan, “Aku pernah diceritakan ibuku bahwa awal memulai kehidupan di Sitiung tidak mudah. Ribuan orang yang harus pindah dari Wonogiri itu harus membuka lahan di Sumatra. Mereka menempati rumah kayu baru dengan bantuan ransum makan pemerintah. Untuk pulang ke Wonogiri yang sejauh itu perlu biaya banyak. Nenekmu juga tidak menghubungi ke Sumatra, tapi maklum , waktu itu telepon atau HP masih sangat jarang.”
“Lalu apa yang membuat Mbah Suni ingin kembali ke Wonogiri sekarang?” aku bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Saat ini kehidupan kami Alhamdulilah sudah lebih baik. Kami punya anak seumuran kamu, namanya Mia. Tapi saat ini kami tidak mengajaknya karena dia harus menunggui kakeknya yang sedang sakit. Suatu hari tak sengaja ibuku, nenek Suni melihat-lihat foto di hape Mia. Beliau terkesima mengamati sebuah foto postingan orang yang mengunjungi makam tua yang muncul saat Waduk Gajah Mungkur surut. Nek Suni mengenali bahwa makam di postingan itu adalah makam simbok bapaknya. Dia yakin sekali dan ingin ke Wonogiri segera mungkin. Mbahmu Suni ingin sebelum dia meninggal, dia bisa mengunjungi makam ayah ibunya di Wonogiri.”
“Monggo istirahat rumiyin,” terdengar suara nenekku dengan canggung mempersilahkan tamunya untuk beristirahat. Dia menunjukkan kamar untuk mereka beristirahat. Ini sudah hampir jam 2 pagi dan tamu itu pasti lelah setelah hampir 24 jam perjalanan mereka.
Aku berbaring di tempat tidurku tapi aku belum bisa tidur. Pikirku berkelana. Aku teringat perjalananku dengan nenek ke pinggiran Waduk Gajah Mungkur minggu lalu. Nenek mengajakku mengunjungi dua makam tua yang muncul dari waduk yang surut airnya karena kemarau. Katanya itu adalah makam buyutku.
Waduk Gajah mungkur yang ada di sebelah utara desa kami memang luas. Dulu waktu dibangun di tahun tujuhpuluhan sampai delapanpuluhan, konon dengan menenggelamkan puluhan desa di sekitar wilayah Wonogiri seperti Nguntoronadi atau Mbetal Lama. Di sebuah area di pinggiran waduk, memang kadang muncul fenomena luar biasa saat kemarau panjang tiba. Ada munculnya daratan dengan makam, dan beberapa sisa banguan tua dari dasar waduk yang mengering karena kemarau menyurutkan airnya.
Menjelang puasa ini, kemarau panjang makin membuat air waduk berkurang. Bahkan setelah lebaran ini, kemarau belum kunjung berhenti, membuat makam itu makin mudah dikunjungi. Ada banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Ada yang berziarah sambil mengenang masa lalu saat desa itu belum ditenggelamkan. Mbah Suni yang dari Sitiung itu mungkin juga ingin merasakan kenangan sebelum ajal menjemputnya. Tubuhnya yang renta terpaksa melakukan perjalanan sedemikian lama demi kenangan – kenangan itu. Aku bisa merasa mataku mulai terisi air mata. Aku telah membenci kerabatku sendiri yang telah mengorbankan kehidupannya di tanah kelahirannya untuk pembangunan waduk. Mereka harus pindah begitu jauh dengan ikhlas untuk sebuah bendungan yang tidak bisa mereka nikmati manfaatnya. Itu adalah sebuah pengorbanan yang begitu besar untuk kepentingan orang lain.
Pagi – pagi sekali, tamu dari Sitiung itu mengajak kami ke makam. Aku dan nenekku mengantar mereka ke sana. Sepoi angin pagi menyapa kami. Di cakrawala matahari mulai muncul. Terbias indah ke air waduk Gajah Mungkur. Makam – makam tua itu terlihat anggun tapi misterius. Kami tiba di dua buah makam di sisi pinggir kiri area pemakaman itu. Tulisannya sudah kurang jelas, tapi kedua nenekku itu yakin sekali bahwa itu makam orang tuanya.
Nenekku dan kembarannya duduk berjongkok, memanjatkan doa dalam diam. Aku, Paklik Joko dan istrinya ada di belakang mereka. Kami juga berdoa dengan khidmat. Tiba – tiba kulihat tangan nenekku meraih tangan kembarannya.
“Ngapuronen aku yo, dhi. Wektu iku, aku ora melu nyang Sitiung. Nyat panthes nek kowe nesu karo aku. Kudune aku kembaranmu iki sing ngancani kowe urip neng paran” Nenekku gemetar sambil menangis.
(Maafkan aku ya adikku tersayang. Waktu itu aku tidak ikut kamu ke Sitiung. Memang pantas jika kamu marah ke aku sekian lama. Seharusnya aku, kembaranmu ini, yang menemani kamu hidup jauh merantau.)
“Yungalaah..aku ki ra pernah nduwe perasaan nesu karo mbakyuku sing paling taktresnani. Takkiro kowe wes nglalekne aku. Ora pengen ketemu aku meneh mergo aku milih urip neng Sitiung melu pakde,” jawab kembaran nenekku itu sambil gemetaran menahan tangis.
(Ya Alloh, aku sama sekali tidak pernah punya perasaan marah ke saudara perempuan yang paling kusayangi ini. Hanya kukira kamu sudah begitu lupa denganku. Kukira kamu tidak ingin ketemu aku lagi karena aku memilih hidup jauh darimu, memilih hidup di Sitiung dengan pakde waktu itu).
Dan pagi itu kesalahpahaman yang telah berlangsung empatpuluhlima tahun itu sirna. Karena keadaan, tak mudah meluruskan sebuah kesalahpahaman yang terbungkus dalam diam. Merekapun berpelukan erat di depan makam orang tua mereka.
Nenekku kemudian mengajak kembarannya berdiri. Dia menggandeng kembarannya ke arah luar makam. Kami mengikuti dari belakang saja. Aku melihat kedua perempuan tua itu berjalan menuju sebuah sebuah sumur tua. Sumur itu memang sudah tidak sempurna bentuknya. Tapi masih dapat dikenali.
Nenekku dan kembarannya berjalan bergandengan mengitari tempat di samping sumur tua yang mereka yakini sebagai rumah mereka di masa lalu. Mereka tidak berkata – kata tapi senyum mereka mengingatkanku pada dua gadis kecil di foto lusuh di lemari nenekku. Dua kakak beradik kembar bergandengan penuh cinta di samping rumah kayu tua. Rumah tua mereka memang telah hilang ditenggelamkan oleh air bendungan tapi kenangan mereka di rumah itu akan tetap ada selamanya.
“Reneo nduk, putuku cah ayu,”Mbahku yang dari Sitiung memintaku mendekat. Kali ini aku mencium tangannya dengan takzim. Tidak ada lagi rasa kesal. Kali ini aku memeluknya dengan bangga penuh rasa sayang.
“Kalian adalah sebenarnya pahlawan yang tak tersiar kan,” bisikku dalam hati di tengah hangatnya pelukan kedua nenekku.
(Cerita ini murni fiksi. Hanya memang idenya didapat dari beberapa cerita mulut ke mulut tentang program transmigrasi ke Sitiung bagi warga yang terdampak pembangunan Waduk Gajah Mungkur yang dimulai sekitar tahun 1974 hingga diresmikan oleh presiden Suharto tahun 1981.
Waduk ini sangat luas, ada sekitar limapuluhan desa di wilayah 6 kecamatan di Kabupaten Wonogiri harus ditenggelamkan. Warga dari desa tersebut ibaratnya berkorban untuk kepentingan negara dan rakyat banyak. Mereka rela meninggalkan desa tercinta, ada yang ikut transmigrasi ke beberapa wilayah di Sumatera, terutama Sitiung, ada juga yang pindah ke tanah keluarganya. Disebut Bedhol Desa. Saya sangat tersentuh dan menghargai pengorbanan mereka, terselip doa semoga mereka semua hidup bahagia dan lebih sejahtera jauh dari kampung halaman aslinya. Saat seorang teman mengajar menunjukkan foto lama keluarganya yang terdampak transmigrasi itu, tiba-tiba saja tangan ini tergerak menulis sebuah cerita :)
Waduk itu masih berdiri kokoh sampai sekarang. Memberi manfaat banyak warga di kota Wonogiri dan sekitarnya. Tentang kemunculan makam di area WGM itu memang kadang terjadi saat musim kemarau panjang dan air waduk menyusut.)
makam yang muncul di WGM saat kemarau (rri.co.id) |
English Version:
The UnsungHero From Sitiung
“Please cancel your vacation trip, sweetheart. There will be guests from Sitiung tonight.” I still remembered my Grandma’s words early this morning. After doing Subuh pray, she approached my bedroom.
I was so annoyed. I wished that I could yell out loud in rage until all people in this small neighborhood could hear me. I asked her in angry tone,”Is this guest so important that I have to sacrifice my trip plan?”
My classmates and I had planned this holiday trip since three months ago. We planned to spend a couple of nights after Lebaran day in one of small resort at Kaliurang, Jogja. I had tried hard to earn money for that trip. I earned my money by working part time at a restaurant near Gajah Mungkur Dam. After school, I helped the restaurant owner to grill the nila fish whenever there were some orders.
I really hated the fact that my trip plan eventually failed. And it was because of those mysterious guests from a far away land named Sitiung. It was a far away town in Sumatra Island, a thousand six hundred kilometers away from this home. But, I also didn’t have a heart to leave my old Grandma to take care the upcoming guests by herself. My Grandpa had passed away four months ago. My father and mother earned living in Kalimantan by selling jamu (traditional herbal drinks). They said that the waves in the Java Sea were in high tides. They found it difficult to go home this Lebaran holiday season. My parents didn’t have money to go home by plane.
“Well, I’ve determined to hate this guest!” I thought in anger.
Grandma did not say a word as she knew that I was very disappointed. I grumbled many times while making the beds for the guests. I had no idea why Grandma kept silence all day. Her hands kept helping me, but without saying a word.
As the night was getting late, I saw Grandma sat on her bed while looking at a piece of paper. I could hear that she’s sobbing solemnly. It made me hate the mysterious guest even more. I believe that it’s the arrival of that guest which made my Grandma in tears.
My Grandma is called Mbah Sani. She’s 76 years old. She’s so kind that she had never made me upset before. She took care of me patiently while my parents worked in other province.
“I’m so curious now, Grandma. Please tell me who the guests are?” I asked my Grandma with polite Javanese utterances.
Grandma was still sobbing, didn’t give an immediate answer. She just showed me the paper which she held. It was actually a piece of old photograph from old time. It was a black and white photo of two little girls standing beside a wooden house with some banana trees and an old well at the background. Those two little girls were look exactly alike, smiling hands in hands. I believed they were twins.
“Who are these girls, Grandma?” I was wondering.
“The little girls are me and my twin when were kids. Her name is Mbah Suni. Well, she’s the guest who will be arrive,” Granma answered. And off her go her stories.
Grandma said that that time was 1975 when there was an order to do a what so called Bedhol Desa transmigration order from the government. People from hundreds of villages in some Wonogiri area had to move to Sumatra province because their villages would be drowned for building a massive dam. One of the largest dam in South East Asia. The large dam was called Waduk Gajah Mungkur. The dam was very needed to develop the agricultural and electricity power supply not only in Wonogiri area but for many cities in the surrounding areas.
My Grandma’s village is one of those villages which would be drowned for building Gajah Mungkur Dam. My Grandma’s parents were passed away a year before that order. My grandma and her twin were sixteen years old at that time. They live alone without parents. My grandma’s twin was joined the transmigration to Sitiung in Sumatra island with one of a far relative they had. The twins were separated. My grandma said that she could not join the transmigration because she had promised to marry my late Grandpa. Grandpa’s village was not drowned. My Grandma married and moved to Grandpa’s village. My Grandma, Mbah Sani, was separated with her twin, Mbah Suni, ever since. Then why had they never got connected? Why did Mbah Suni never go home to Wonogiri? I had to save my curiosity because I could hear the door was knocked by the guest.
It was an awkward moment from that first meeting of the guests from Sitiung and us, the host. One old lady who was very similar to my Grandma was helped to get down from the car by a man and a woman whose age around my parents’. I frowned as I shook their hands just to show any polite manner. The man then introduced themselves,” We’re really sorry that we arrive to your house late at night like this. I’m Joko, Mbah Suni’s son, and this is my wife, Maisyaroh. We’re now living at Sitiung, Darmasraya district, West Sumatra province. I are travelling this far distance just to fulfil my mother’s whish.”
My Grandma still didn’t say a word. With this upset feeling here in my heart, I let them in. Grandma and her twin from Sitiung still stayed quiet. After the hot tea was served, I could help myself to ask a question,"Why did you never contact us ?”
The man whom I called Uncle Joko took a glance at her mother, but Mbah Suni was still sitting still without words. Uncle Joko explained,” My mother once told me that it was not an easy thing to start living in Sitiung as a transmigran. Thousand peoples who had to move from Wonogiri had to pioneered the jungle into rice fields or . At that time, they had to live in wooden house with food supply from the Government before they could harvested any crops. Going home to Wonogiri needed lots of money, moreover the communication means were rare. None there had any telephone or mobile phones at that time.”
“So, what made Mbah Suni want to go back to Wonogiri?” I asked in full of curiosity.
“Nowdays we have good living. We could earn living well there. We also have a daughter at your age, she’s your cousin. We do not take Mia here with us now because she has to take care of his Grandma who is in bad health now. One day, our mother, Mbah Suni, saw a photograph at Mia’s hand phone. It was a picture at Instagram showing people visiting old graveyard which emerged as the water of the dam was decrease from the draught. Mbah Suni could recognize that one of the gravestone in that picture is her parents’. Mbah Suni told us that she wish to visit her parents’ cemetery in Wonogiri before she passes away.”
“We can continue this story tomorrow morning. It’s late at night now, it’s better for us to sleep and take a rest,” I could hear my Grandma trying to let her guests to take a rest. I saw the clock striking one o’clock now and the guests had to be tired from their 27 hours journey. The guests then went to the room we had prepared.
I laid in my bed but I couldn’t sleep easily. I remembered my last trip last with Grandma to that cemetery at the Gajah Mungkur Dam, near my village in Wuryantoro. Grandma took me to two old cemeteries which were said that they were my late great grandfather and the great grandmother. That graveyard area was actually drowned with Gajah Mungkur Dam’s water but it emerged from to the surface in an extreme long dry season like this.
Gajah Mungkur dam which laid on the northern part of our village was huge. It was built from 1976 until 1979 by drowning hundreds villages around Wonogiri district. At one area along bank of the dam in Wuryantoro, people would see an amazing phenomenon when an extreme dry season came. A land will emerged to the surface with hundreds of tombstones on it. People could also see some ruins of old buildings from the water bed of the dam as the draught decreased the amount of the water.
Before the fasting month, the dry season had made the water in the dam decreased. Even many days after Lebaran day, the dry season was still continuing. It made the cemetery became easier to be visited. When there came a phenomenon like that, many people would visit that place. Some came to do a pilgrimage to their ancestor’s tombs, but most people came to remember the old memories when the villages were not drowned in the dam’s water.
I remembered my guests that made so upset tonight. Mbah Suni might also wanted to recall the memories of her lost village before she passed away. Her old physical body had to travel through that very long distance just for gathering the memories. I could feel my eyes getting wet. I felt bad for had hated, Mbah Suni, my own relative, who had sacrificed her live at her own village for mega project of building the dam. They had to move to far away land, started a brand new living, for a dam that they did not even enjoy its advantages. It was other lots of other peoples who made use of the dam and I could realize now that it was such a huge sacrifice for the sake of other peoples’ well beings.
In the next day, early in the morning, those guests from Sitiung asked us to accompany them to that old cemetery by the dam. The morning breeze gently greeted us. The sun started to shine at the horizon. Some of the orange sunshine biased to the water surface of the Gajah Mungkur dam. From the distance, those old tombstones looked so mysteriously elegant.
We walked and finally arrived at the two tombstones at the left side of the graveyard. There were no letters left written on them but my Grandma and her twin believed that those were their parents’ tombstones. They were sitting near the stones and started to pray for their late parents in silent. Uncle Joko, his wife, and me were sitting behind them. We also did the prayer quietly. Suddenly, I could see that my Gandma’s hands were reaching her twin’s hands.
“Forgive me my dearest sister. At that old time I could not join you to move to Sitiung. I could understand if you always got angry to me. It should be me, your older sister who should accompany you living Wonogiri and started living in that far away land,” my Grandma said in trembling voice full of tears.
“Oh, no my sister, please don’t say like that. I had never been angry to you, my only beloved sister. It just for this long times I thought that you had forgotten me. I was afraid that you didn’t want to meet me because I could not reject our relative who took me to Sitiung at that time. I always love you, my sister,” my Grandma’s twin answered, also with tears. And that morning we could see the misunderstanding which had lasted for fourty years now was crumbling over. They were hugging each other tight in front of their parents’ tombstones.
After several minutes, my Grandma asked her twin to walk at a certain place. We just followed them walking outside the cemetery area. They were walking toward a ruin of an old well. The shape of that old well might be not perfect anymore but everyone could recognize that it was surely a well from the lost village.
Grandma and her twin were walking hand in hand around the area beside that old well. They believed that the area was their place where their wooden house stood at the old time before it was drowned by the water of the dam. They did not say too much words but the smiles on their faces reminded me to those two little girls in the old black and white picture which Grandma showed me that night. The little twin who took a photograph beside their house, hand in hand, smiling with love. That old wooden house was now has gone because of the dam, but I believe their memories in that lost house would be there forever.
“Go come nearer to me, Ani, my sweetheart. You’re also my granddaughter, you know?” Mbah Suni, my mysterious guest from Sitiung asked me.
This time I kissed her hands with all of my heart. I could feel no more upset feelings inside me. I hug her with love and proud feeling and whispered, “You are actually the unsung hero.”
Monumen Bedhol Desa di dekat waduk (pokohkidul.desa.id) |
13 comments
Ceritanya mengandung bawang. Sejarah yang diceritakan penuh fiksi
BalasHapusTerimakasiiih misjuli sudah mampirr :)
HapusCeritanya sederhana tapi mengguggah perasaan mba Dewi💕
BalasHapusWah bangganya dipuji mba amerinty :) Terimakasih sudah berkenan mampir di blog sederhana saya inii
HapusCeritanya bikin mewek mbak. Membayangkan bagaimana perasaan mbah suni dan sani setelah berpisah puluhan tahun, dan bertemu di usia yang tak lagi muda.
BalasHapusBagus kisahnya Mbak. Aku ingat salah seorang kenalan ada yang terdampak waduk Gajah Mungkur ini. Mereka benar-benar pahlawan ya, ikhlas bedol desa dan pindah ke tempat yang jauh.
BalasHapusMasyaAllah terharu. Keren, Mbak. Dari kisah nyata bisa dibuat dalam bentuk fiksi yang menyentuh.
BalasHapusPerjuangan para transmigran sungguh luar biasa
Betul mbak april.perjuangan para transmigran itu luar biasa sebenarnya, hanya jarang terblow up. Salut buat mereka
HapusWaaaah tulisan Mbak Dewi mengandung sejarah eh bawang nih. Hehe. Pagi-pagi berhasil nitik air mata di pelupuk karena baca kisah yang mbak Dewi tulis. Keren mbak, sangat menyentuh.
BalasHapusTerimakadlsih mbak ribkaa ;) lagi belajar nulis niih
HapusBiarpun fiksi tapi ceritanya bagus sekali mbak, aku ikut trenyuh saat Mbah Sani dan Mbah Suni ke makam orang tua mereka yang terlihat karena air waduk gajah Mungkur surut.
BalasHapusBiarpun fiksi tapi ceritanya bagus sekali mbak, aku ikut trenyuh saat Mbah Sani dan Mbah Suni ke makam orang tua mereka yang terlihat karena air waduk gajah Mungkur surut.
BalasHapusOh ya, minal aidzin wal Faidzin ya mbak, mohon maaf lahir dan batin kalo banyak salah selama ngeblog.🙏🙏🙏
Cerita yang luar biasa menarik bu Guru...Saya membacanya seolah kejadian itu nyata adanya.😊😊
BalasHapusDua orang saudara kembar yang terpisah karena sebuah proyek waduk Gajah Mungkur. Akhirnya keduanya dapat bertemu kembali meski keadaanya sudah berbeda, bahkan sudah tidak muda lagi...
Namun akhirnya karena pertemuan tersebut kesalah pahaman selama 45 tahun terkuak, dan semua sangat mengharukan.😊😊