Apakah Maafmu Selezat Coklat?
09.11
Kalau maafku mungkin masih sewarna semburat oranye di awal
hari. Antara stengah iya – stengah gengsi. Belum semenggoda warna si cokelat. Di
depan kelas mudah saja sih setengah khotbah mengatakan , kalau kita salah
segera minta maaf ya... kalau teman salah ya harus kita maafkan. Amboii
gurihnya nasehatku.
Kenyataannya bisa lain cerita. Saat si trouble maker –
begitu temannya menjulukinya, datang ke kelas dengan santainya setelah hampir
sekian lama dipimpin berdoa. Diantara bibirnya yang belepotan mi rebus
terdengar gumaman minta maaf. Mengapa berat untuk sekedar melingkarkan senyum.
Jangan bilang mudah saat bibir mencoba berucap, iyaa bu guru sudah maafkan kamu
kok!.
Mengapa begitu berat? Bagaimana caraku untuk segera
memaafkannya? Tak bisakah biarkan saja
kesalahannya lepas di alur angin? Tanpa tamparan tanpa makian. Tapi maafku
belum selezat cokelat. Harga maafku masih terlalu tinggi dikalahkan rasa gengsi
– ingin lebih berkuasa. Mengapa yang keluar dari mulutku lebih mirip makian
yang mungkin menamparnya lebih tajam dari sekedar tamparan tangan.
Kau kukatakan tak berkarakter. Tak tahu sopan. Kau gagal belajar karakter baik disekolah ini. Kulirik bias pahit dimatamu. Aiih, pahitnya coklat seharusnya berganti dengan legit dan lezat yang berujung senyum.
Baiklah, kurasa agar maafku menjadi selezat coklat aku harus belajar beberapa kata mereka yang cerdik pandai:
- "Anak yang gagal belajar atau guru yang gagal mengajar?"
Sebuah pertanyaan di buku Ayah Edy Punya Cerita yang seharusnya menjadi bagian tanyaku. Saat mereka gagal bersopan santun dengan baik seperti tadi, mengapa tak coba saya tanya ke diri sendiri " Hei, jangan-jangan saya sebagai guru lah yang ikut andil mencetak mereka untuk gagal bersikap lebih baik. "
Rasanya lebih baik jika saya mencoba koreksi diri. Mencoba mencari cara agar saya tak lagi gagal menerapkan disiplin dan sikap sopan kepada mereka.
2. Belajar dari ayah Dr. Arun Gandhi; Mendidik tanpa kekerasan.
Suatu hari saat Dr Arun Gandhi masih remaja, dia mendapat tugas untuk menemani ayahnya yang pergi konferensi di sebuah kota besar. "Arun, jemput ayah tepat jam lima sore disini dan kita akan pulang bersama-sama."
Sang anak menjawab dengan yakin akan menjemput ayahnya tepat jam lima sore. Tetapi apa daya, janjinya terkalahkan dengan keasyikannya melakukan berbagai kegiatan, termasuk menonton film di sebuah bioskop. Arun pun terlambat. Dia datang ketempat ayahnya hampir pukul 18.00. Ayahnya kemudian bertanya mengapa dia terlambat.
"Maaf ayah, tadi aku menunggu bengkel seharian. mobilnya sore baru selesai diperbaiki," jawab Arun mulai berbohong. Malu dia keasyikan menonton film hingga lupa janjinya.
Ternyata tanpa sepengetahuan Arun, ayahnya tadi telah menelfon bengkel tempat mobil diperbaiki. Bengkel mengatakan mobil telah selesai siang tadi. Ayah Arun terpekur sedih, dia tahu anaknya telah berbohong.
"Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dalam Ayah mendidikmu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada Ayah. Untuk menghukum kesalahan Ayah ini, biarlah Ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan letak kesalahannya."
Lalu perjalanan pulang sejauh kurang lebih 18 mil itu dilakukan sang Ayah dengan berjalan kaki dalam diam. Sementara hari kian gelap. Ayah tetap menggeleng saat berulang Arun menawarinya naik mobil. Arun tak kuasa menahan air mata saat berlahan mengiringi ayahnya, Arun menyetir berjalan berlahan di belakang ayahnya dalam sepanjang perjalan itu. Arun pun sangat menyesali kejadian itu dan berjanji sejak saat itu dia akan selalu berkata jujur kepada siapapun. Dr. Arun menyatakan pasti akan berbeda jika saat itu ayahnya meluapkan marah atau langsung keras dalam menghukum,
"Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu dan hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya."
http://www.arungandhi.org
Maafkan anak, evaluasi kesalahan yang mungkin kita perbuat yang mungkin ikut berperan menjadikan anak menunjukkan perilaku yang tidak terpuji.
3. Saat harus terpaksa memberi hukuman, pastikan berat ringannya hukuman bukan semata-mata berdasar suasana hati semata.
Ya Allah, kadang alangkah tampak beringasnya sikap ini kepada mereka. Hanya karena mereka terlambat, rentetan kata tajam mereka terima. Tanpa sempat mereka menjelaskan. Tanpa membiarkan hati ini peduli mendengar. Menurut Moh. Faudzil Adhim dalam bukunya Saat berharga untuk anak kita:
"Tak layak orangtua terus memberi tekanan mental kepada anak, padahal mereka telah menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, yang perlu kita berikan adalah dukungan dan penerimaan yang tulus."
Maka seharusnya bukan kata bernada kasar dan menyudutkan yang harusnya keluar dari lisan ini tadi. Seharusnya biarkan dulu hati ini memaafkan. Seharusnya lembutkan dulu mata ini dengan penerimaan yang tulus saat mereka menunjukkan penyesalan. Nah, setelah itu barulah beri waktu untuk mendiskusikan hukuman. Kasih sayang harusnya mendahului kemarahan.
Harusnya bukan kata tajam untuk memulai hukuman mereka kali itu. Harusnya tatapan kasih sayang penuh maaf yang manis untuk menetapkan hukuman mereka yang telah melanggar peraturan. Dan merekapun akan tahu bahwa saat hukuman ditetapkan, itu semata karena didorong oleh rasa sayang dan peduli saya untuk mereka.
Picture:Pixabay
19 comments
Iya bener bun. Kalau ada kesalahan pada anak, oranh yang pertama kali harus evaluasi bukanlah anak tapi diri kita sendiri ya. Mungkin ada kebutuhan anak yang belum kita penuhi atau ada yang kurang tepat dengan pola asuh kita
BalasHapusTapi ya itu kadang suka emosian dulu hehe.. jangan-jangan saya orangtua bersumbu pendek. Masih perlu banyak belajar ni
HapusKadang kita suka engga sadar, menegur tapi kelewatan, jadi marah². Kalau udah gitu menyesal deh. Padahal hati anak udah terluka.
BalasHapusMakasih remindernya Mbak
Sama-sama mbak.. kita memang harus lebih banyak belajar untuk menegur dengan cara yang lebih baik
HapusYang ketiga nih masih suka lupa. AKu biasanya kalau memberi hukuman sambil marah-marah jadi kebawa emosi gitu. Benar juga harusnya menghukum pun tetap dengan kasih sayang ya. Duh, teledornya aku.
BalasHapussamaa mbak damar aisyah, saya masih sering kebawa emosian. Ngomel-ngomel bak radio rusak hehe
HapusNah terkadang kalo kita mau menghukum itu memang didasarkan karna emosi. Padahal niat hati nggak bermaksud buat seperti itu tapi yang dilakukan malah sebaliknya. Dampaknya apa? Ya anak malah jadi trauma dengan perlakuan kita. Sedih yah..
BalasHapusduh judulnya bikin ngiler hehe. emang sih harus anak itu cerminan kita ya, jika kita bisa memaafkan kenakalan anak ya, tentu anak pun akan meniru begitu. tapi kalo sebaliknya bisa menjadi boomerang bagi kita, hmm
BalasHapusIya mbak , sedih banget saat mereka jadi seperti trauma dan jadi agak menjaga jarak dengan kita. Semoga saya tidak sering mengulangi sperti itu lagi
BalasHapuscatatan banget ini buat saya, mbak. duh, maafku harus bisa selezat cokelat nih.
BalasHapusTerima kasih pengingatnya mbak. Pr buat saya untuk, memberi maaf selezat cokelat.
BalasHapusSelf reminder ini..Makasih Mbak:)
BalasHapusKasih sayang harusnya mendahului kemarahan... jleb ini
Yang ada marahnya saya dulukan, enggak mau dengar penjelasan anak dulu huhuhu
Duh, mewek saya baca kisahnya ayah Arun. Benar sekali, terkadang anak terpaksa melakukan kebohongan karena tahu konsekuensi yang harus dihadapinya. Dan, kebanyakan itu karena kesalahan dari orang tua. Jadi harus banyak2 introspeksi diri, nih..
BalasHapusOrang tua dan guru harus mawas diri dulu ya, Bun. Apalagi kalau anak sudah dewasa, tidak bisa langsung di-judge. Mereka butuh untuk didengarkan alasannya. Iyes, misalnya harus ada hukuman, emosi kita harus dikendalikan dulu.
BalasHapusNice sharing :)
Kisah mahatma gandhi sangat menyentuh mbak,duh jadi koreksi pengasuhan saya kepada anak-anak nih,inspiratif banget mbak tulisannya
BalasHapusMemang mudah berkata, "maafkanlah orang yang telah menyakitimu."
BalasHapusKedengarannya gurih tapi tak lezat di lidah, iya kan. Saya juga sering begitu. Thanks ya sudah mengingatkan.
Kadang sebagai ortu saya lepas kontrol mb... Suka marahin anak yang bikin kesalahan. Gak boleh ya kasar2 he he.. Thx mb udah kasih sentilan mesrah.. .
BalasHapusSama, mbak.. saya juga masih sering ngomel-ngomel gak jelas gitu. Masih perlu berulang mengungatkan diri nih.
HapusMbaaaaa, saya nangis beneran baca ini, betapa saya punya banyaaaaaakkkk banget hutang dan kesalahan pada anak2.
BalasHapusSaya rasa semua ini karena kegagalan saya memaafkan dan berdamai dengan masa lalu saya yang jauh dari kata bahagia ala anak-anak.
Dan kurangnya rasa syukur saya.
huhuhuuuu... masha Allaaahhhh, sedih saya.
Terimakasih sudah menulis tentang ini ya mba :')