Cerpen Semangkuk MiAyam Untuk Kakakku-Bilingual Indonesia-English

18.10

        


Cerita bilingual ini saya buat berkolaborasi dengan salah satu murid saya yang hobi menulis. Namanya Maylika, sudah sejak kecil suka menulis. Pernah juga berprestasi di ajang menulis puisi FLS Sukoharjo pada tahun 2019. 

Judul aslinya adalah : Sebungkus Cilok Untuk Kakakku. Saya kemudian membuat versi bahasa Inggrisnya dengan ada perubahan sedikit pada versi aslinya. Cerita Maylika ini menjadi juara 1 di kegiatan festival literasi  yang diadakan di sekolah kami tahun 2021 lalu. 

Dalam cerita bilingual ini saya menggunakan Bahasa Inggris - Indonesia dan cerita ini menjadi bagian dari buku fiksi solo saya : My Story Book. Rupanya cerita Maylika ini membawa hoki hehe..Buku My Story Book saya menjadi juara 3 penulis terbaik kegatan SAGUSAKU 4 (Satu Guru Satu Buku 4) Wonogiri tahun 2021 lalu,

Saya harap dengan membaca cerita berbahasa Inggris yang dekat dengan keseharian, kamu akan lebih tertarik untuk belajar Bahasa Inggris. Kosakatanya tidak terlalu sulit dengan total sekitar 1100 words. Yuk simak ceritanya.

 After I had helped Mom washing dishes, I was ready to do my remote learning assignments. Covid-19 had forced us to study at home since March 2020. Remote learning for me was not as easy as studying in real classrooms but I knew I just got used to it. Studying at home meant that I had to study with Gandhi. Believe me it was not always that fun.

    Gandhi was my little brother. Mom asked me to help him with his lesson. I understood that Mom really needed my help because her job as a batik painter needed extra focus and time.  She had to work carefully  with her canting and hot malam to finish each batik cloth patterns. My father off course couldn’t do any help with Gandhi’s lesson. He was always busy working from dawn to evening at the batik manufacture near my village at Tirtomoyo district.

    Usai membantu ibu dengan cuci piring, aku bersiap untuk mengerjakan tugas – tugas PJJ ku. Covid-19 telah memaksa kita untuk belajar di rumah sejak Maret 2020. Ini tak semudah seperti saat kita belajar di ruang kelas seperti dulu, tapi aku tahu, aku hanya harus membiasakan diri untuk itu. Belajar di rumah itu artinya aku harus belajar bareng Gandhi. Percaya deh, itu tidak akan selalu menyenangkan.

    Gandhi itu adikku. Ibu memintaku untuk membantunya untuk mempelajari pelajarannya. Aku tahu kalau Ibu memang memerlukan bantuanku karena pekerjaannya sebagai pembatik membutuhkan fokus tinggi dan waktu ekstra. Ibu harus bekerja dengan hati – hati dengan cantingnya dan lilin malam yang panas untuk menyelesaikan tiap pola kain batik. Ayahku tentu saja tidak bisa banyak membantu dengan pelajarannya Gandhi itu. Ayah itu selalu sibuk bekerja dari pagi – pagi sekali sampai sore di pabrik batik dekat desaku di Kecamatan Tirtomoyo.


It’s not that I hate helping Gandhi. It’s just he’s like any other eight years old boys who hardly stayed still for an hour. Moreover sometimes I felt any trouble on managing my time. Once, I asked for Mom’s suggestion about it. Mom suggested, “I know this is not an easy task but I believe you can do it, sweetheart. By doing this task, day by day you’ll have more chance to learn time management in real life.” 

So the day was just like my other remote learning sessions; washing the dishes, finishing my remote learning assignments and off course – now it’s time helping Gandhi with his online classes. But wait, the clouds were black and strong winds brought down some small rain drops. I saw that the clothes which Mom had washed this morning were still outside. I didn’t have a heart to wake Mom up. She had just fallen asleep on a small couch near her batik work area. She looked so tired. My parents had to work extra hard to earn living during this hard pandemic situation. No time to complain. I realized that I got to do as much as I could to do any help. I rushed to the yard to safe the clothes. 

I was out of breath when I reached Gandhi’s room. He frowned and protested why it took a long time for me to help him with his tasks. He complained, “I want to play with my friends!”

Oh gosh! Gandhiii.. if only you knew how hard it was to be me, helping Mom with the house works, doing my own online assignments and off course spending more hard time with you, I grumbled in my heart. 

“No, Gandhi. You can’t go out unless you finish these tasks,” I persisted, “You have to do this Math subject first, after that let’s finish your drawing assignment and doing this Javanese task.” I always wanted my session with Gandhi as short as possible. I wanted him to finish all his tasks in a rush. 

“Can I only finish my drawing now?” Gandhi persuaded, “I really want to play bicycle with Abi.”

 “No. You know you can’t! Let’s do all those tasks right now!” I insisted with my higher tone.

“I don’t want to do this Math now. It will take a long time to do it. I hate Math!” he yelled.

By that time, I saw Mom was entering Gandhi’s room. She had woken up because of our noisy argument. Mom whispered to me, “Be patient sweetheart. Your little brother is still a small kid. He won’t be happy if you make him do all his tasks at once in a rush.”

Oh, Gandhi! Millions tons of patience I had given for you. I remembered how often he had taken my Lego collections without permission from my cupboard. I had noted how many hours he had stolen from my leisure time to help him with his online classes. And look! He was just ready to run now.

“I’ve finished with my drawing task,” Gandhi just rose up from his chair and grabbed his mask on his desk. He didn’t listen to my objection at all. He asked some pocket money from Mom and quickly went out with his bicycle. I looked at Mom with an upset look, how could Mom just let him go that easy. 

“That’s okay, he will go home soon. Thank’s for helping Gandhi, sweetheart. You can finish your tasks while waiting him home,” Mom said.

Gandhi went home at five in the evening.  The rain had stopped but the air was a little bit cold. Mom was still busy with his batik painting. I had just finished preparing some cups of hot tea in the kitchen when I saw him at a glimpse running to the bedroom. I believed he would play computer games or reading any comic books at his room. I put two cups of tea for Mom and Dad at a small table near Mom’s batik area. I took another cup of tea for myself. I wanted to have it at my room while watching my favorite Korean drama. Tea for Gandhi? I didn’t want to bring it to his room. I put the tea for him at the table near the television. He sometimes had his tea there. I saw him peeping me from his room. Was he just throwing a smile at me? No, I didn’t care!

I walked into my room. I would rather spend a peaceful evening alone. But, I was so surprised when I was about to put my tea on my desk. I saw that there was a bowl of warm chicken noodle with a piece of note paper underneath it. I slipped the paper out and found out that it was Gandhi’s handwriting. Not very neat writing, but it was good enough for a kid at his age. The note said, This is the most delicious chicken noodle for my beloved sister. When I was hanging around with my friends I saw Mas Bejo chicken noodle stall, your favorite. I remembered that you must be so tired doing this and that. But don’t say thanks to me. Thank Mom for I bought it with the pocket money which was given by Mom. Please don’t hate me.

Gandhi, how could I hate you? You’re my only brother I had. I took two forks and brought the chicken noodle to Gandhi’s room. I saw him still reading his favorite comic book. I hug him from his back and he smiled. His smile, which was as warm as that special chicken noodle, melted all those hatred flakes inside my heart.

SEMANGKUK MI AYAM UNTUK KAKAKKU


Usai membantu ibu dengan cuci piring, aku bersiap untuk mengerjakan tugas – tugas PJJ ku. Covid-19 telah memaksa kita untuk belajar di rumah sejak Maret 2020. Ini tak semudah seperti saat kita belajar di ruang kelas seperti dulu, tapi aku tahu, aku hanya harus membiasakan diri untuk itu. Belajar di rumah itu artinya aku harus belajar bareng Gandhi. Percaya deh, itu tidak akan selalu menyenangkan.

Gandhi itu adikku. Ibu memnintaku untuk membantunya untuk mempelajari pelajarannya. Aku tahu kalau Ibu memang memerlukan bantuanku karena pekerjaannya sebagai pembatik membutuhkan fokus tinggi dan waktu ekstra. Ibu harus bekerja dengan hati – hati dengan cantingnya dan lilin malam yang panas untuk menyelesaikan tiap pola kain batik. Ayahku tentu saja tidak bisa banyak membantu dengan pelajarannya Gandhi itu. Ayah itu selalu sibuk bekerja dari pagi – pagi sekali sampai sore di pabrik batik dekat desaku di Kecamatan Tirtomoyo.

Bukannya aku benci membantu Gandhi. Hanya saja, dia itu seperti anak usia delapan tahun lainnya, susah diam barang sejam! Terlebih lagi, kadang aku merasa kesulitan membagi waktu. Pernah sekali aku minta saran ke Ibu tentang hal ini. Ibu Cuma menyarankan, “Ibu tahu ini bukan tugas yang mudah tapi Ibu percaya kamu dapat melakukannya, sayang. Dengan melakukan tugas ini, hari demi hari kamu akan punya lebih banyak kesempatan untuk belajar mengatur waktu dalam kehidupan nyata.”

Jadi hari itu hanya sama saja seperti hari sesi PJJ ku yang lain; mencuci piring, menyelesaikan tugas PJJ dan tentu saja – membantu Gandhi dengan kelas daringnya. Tapi tunggu dulu, awan–awan kok terlihat hitam dan angin yang makin kuat membawa beberapa tetes air hujan. Aku lihat beberapa pakaian yang ibu cuci tadi pagi masih dijemur di luar. Aku tidak tega membangunkan Ibu. Dia baru saja tertidur di sofa kecil dekat area kerja membatiknya. Ibu tampak begitu lelah. Orang tuaku memang harus bekerja ekstra keras untuk memperoleh penghasilan selama masa pandemi yang berat ini. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Aku sadar,aku cuma harus melakukan sebanyak yang aku bisa untuk membantu. Aku langsung segera ke halaman untuk menyelamatkan cucian.

Aku terengah–engah ketika kembali ke kamar Gandhi. Dia sudah cemberut dan protes kenapa aku lama, tidak segera membantunya mengerjakan tugas – tugasnya. Dia mengeluh, “Aku mau main dengan teman–temanku!”

Ya ampun! Gandhi… kamu tidak tahu sih sih betapa beratnya jadi aku, membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas–tugasku sendiri dan tentu saja – menghabiskan lebih banyak waktu yang menyebalkan bersama kamu!, aku menggerutu dalam hati.

“Tidak, Gandhi. Kamu tidak bisa pergi kecuali kamu sudah nyelesain tugas–tugas ini,” aku bersikeras, “Kamu harus mengerjakan mapel Matematika ini dulu, setelah itu ayo kita selesaikan tugas menggambarmu trus ngerjain tugas Bahasa Jawa ini.” Aku memang selalu ingin sesi ku belajar dengan Gandhi bisa selesai secepat mungkin. Aku inginnya dia segera menyelesaikan semua tugas–tugasnya dengan secepatnya.

“Boleh yaa aku Cuma nyelesain tugas menggambarku saja sekarang?” Gandi membujukku, “Aku pengen sepedaan dengan Abi.”

“Tidak. Kamu tahu itu tidak bisa! Ayo kita selesaikan tugas – tugas kamu sekarang juga!” aku bersikeras dengan nada suaraku yang meninggi.

“Aku pokoknya tidak mau mengerjakan tugas Matematika ini sekarang. Nanti bakal lama mengerjakannya.  Aku benci matematika!” dia berteriak.

Tepat saat itu, aku lihat Ibu memasuki kamarnya Gandhi. Ibu terbangun karena suara berisik kami yang sibuk bertengkar. Ibu berbisik padaku, “Sabar ya sayang. Adikmu ini kan masih kecil. Dia tidak akan senang kalau kamu menyuruh dia mengerjakan semua tugasnya selesai sekaligus dengan terburu-buru.”

Ya ampuun, Gandhi! Jutaan ton kesabaran rasanya sudah kuberikan ke kamu. Aku ingat seberapa sering kamu ambili koleksi legoku di lemari tanpa ijin. Rasanya aku catat nih betapa banyak jam yang telah tercuri dari waktu luangku untuk membantu Gandhi dengan tugas–tugas kelas onlinenya. Dan lihat saja! Dia sudah siap mau lari saja sekarang.

“Aku sudah selesai nih tugas menggabarku,” Gandhi langsung henyat begitu saja dari kursinya dan meraih maskernya di atas meja. Dia samasekali tidak mendengarkan ucapakan keberatanku. Dia minta uang saku ke Ibu dan langsung keluar dengan sepedanya. Aku menatap Ibu dengan tatapan kesal, kok bisa – bisanya sih Ibu dengan mudah menginjinkan begitu saja anak itu keluar.

“Tidak apa–apa, Kak. Dia nanti akan segera pulang. Terimakasih ya sayang sudah membantu Gandhi. Kamu bisa menyelesaikan tugas– ugas online kamu sembari menunggunya pulang,” kata Ibu.

Gandhi pulang jam lima sore. Hujan sudah berhenti tetapi udaranya masih agak dingin. Ibu masih sibuk dengan membatiknya. Aku baru saja selesai menyiapkan beberapa cangkir the panas di dapur ketika kulihat Gandhi secara sekilas, lari ke arah kamar sepertinya. Aku menaruh dua cangkir untuk Ibu dan Ayah di meja kecil yang ada di dekat area membatiknya Ibu. Aku mengambil secangkir lainnya untuk diriku sendiri. Aku mau menikmatinya di kamarku sendiri sambil menonton drakor favoritku. Teh untuk Gandhi? Ah biar saja, aku tidak mau membawakannya ke kamarnya. Aku taruh saja tehnya di meja dekat TV. Dia toh kadang minum tehnya di sana. Aku melihatnya sedang mengintipku dari kamarnya. Apa dia baru saja tesenyum ke arahku? Ah, biarin. Aku tidak peduli.

Aku melangkah ke kamarku. Aku lebih ingin menghabiskan sore yang tenang sendirian. Tapi, aku begitu kaget begitu aku mau menaruh teh di mejaku.  Aku lihat ada semangkuk mi ayam hangat di sana dengan secarik kertas catatan di bawahnya. Aku menarik kertasnya dan tahu kalau itu pasti tulisannya Gandhi. Bukan tulisan yang rapi banget, tapi tulisannya sudah cukup bagus untuk anak seusianya.

 Catatan itu berbunyi: Ini mi ayam terenak buat kakakku tersayang. Tadi pas main bareng teman–teman aku lihat warung mi ayamnya Mas Bejo. Aku ingat kakak pasti capek melakukan ini itu seharian. Tapi jangan berterimakasih ke aku. Terimaksihnya ke Ibu saja karena aku belinya pakai uang yang dikasih Ibu tadi. Jangan benci aku ya,Kak.

Gandhi, bagaimana aku bisa benci sama kamu? Kamu itu kan satu–satunya adikku. Aku langsung ambil dua garpu dan membawa mi ayamnya ke kamar Gandhi. Aku lihat dia masih asik membaca buku komik kesukaannya. Aku peluk dia dari belakang dan dia tersenyum. Senyumnya itu, yang sehangat mi ayam spesial ini, melelehkan semua serpihan kebencian di dalam hatiku.


Tahukan anda, hampir 90 % pedagang mi ayam - bakso di beberapa kota besar Indonesia itu berasal dari kota kami, Wonogiri. Data ini dari Papmiso Indonesia (Paguyupan Pedagang Mi Ayam dan Bakso) tahun 2021 . Budaya 'boro' sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat di Wonogiri ini. 'Boro' ini berasal dari kata 'ngemboro atau mengembara'. Mi ayam dari Wonogiri terkenal pas rasanya, apalagi diguyur sambel dan saos tomat. Ada juga yang dilengkapi topping pangsit goreng, bakso atau ceker. Paling pas dinikmati saat musim hujan begini.

Cerita - cerita bilingual di buku My Story Book saya ini memang dibuat dengan mengangkat kearifan lokal. Di dalam cerita ini misalnya mengangkat menu mi ayam dan seni batik Tirtomoyo di bagian awal cerita. 

Oke, Selamat menikmati cerita ini sebagai teman belajar bahasa Inggris. Oya, tentu saja bisa sambil menikmati mi ayam Wonogiri :) Terus semangat yaa belajar Bahasa Inggrisnya. Keep reading !

You Might Also Like

22 comments

  1. Maylika dan mbak Dewi sama-sama kerennya nih. Ide cerita yang nggak biasa, apalagi mengangkat kearifan lokal juga, jadi tahu deh sejarah mie ayam. Kalau bukunya sendiri apa bisa dibeli di toko buku terdekat ya mbak? Terus berkarya dalam bidang literasi dik Maylika :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih mbak, ide anak remaja memang kadang out of the box. Seru.
      Sayang, bukunya hanya kami cetak dalam jumlah yang terbatas ,mba. Cuma disimpan untuk keperluan literasi sekolah.
      Terimakasih sudah mampir membaca cerita kami :)

      Hapus
  2. Waah lama nggak kesini ternyata buguru Dewi sudah punya murid yang luar biasa. Berarti blog ini punya dua Admin yaa.😊😊


    Aku sudah jarang BW buguru jadi terkadang kuper tentang info2 perbloggeran.😁😁


    Sebuah cerita yang cukup menarik, Antara Kakak & adiknya. Meski sang adik susah diatur dalam belajar tetapi sang adik yang bernama Gandhi selalu bisa menghargai sang kakak, dengan memberikan semangkok mie ayam . meski mie ayam itu dibeli dengan uang pemberian sang ibu.😊😊


    Tukang mie ayam itu bernama mas Bejo...😳😳 Wah sama seperti tukang mie ayam langgananku dirumah bu guru.😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Welaah..mi ayam mas bejo bikin yang beli makin bejooo :)

      Hapus
  3. Wah maylika luar biasa ya, sudah bisa membuat cerita tentang pjj tapi dengan kearifan lokal, salut buat dia Bu. Tak heran kalo karyanya ini jadi juara satu.

    Ngomong ngomong soal mie ayam, memang banyak yang jualan mie ayam disini yang berasal dari Wonogiri Bu, mie ayamnya enak.😋

    BalasHapus
  4. ide cerita yang diangkat mengenai kehidupan sehari-hari dipadukan dengan mengangkat kearifan lokal. sungguh cerita yang luar biasa. aku kagum deh dengan maylika, dia bisa membuat cerita sebagus ini. gak heran sih kalau dia bisa sampai juara satu. top markotop deh buat maylika

    BalasHapus
  5. Membaca cerita bilingual begini memang paling cocok untuk pembelajaran. Karena kita nggak harus mencari artinya sih. Tinggal baca kemudian ada terjemahannya lalu mengingat-ingat setiap kosa kata untuk menambah perbendaharaan kata asing gitu deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi lebih santai ya mbak belajarnya. Terimakasih sudah baca cerita kami :)

      Hapus
  6. Seruuu ceritanya hihi. Aku juga pernah bikin tulisan cerpen dengan judul makanan “Cinta di Sepiring Batagor” hihi.

    Jadi inget pernah bikin cerpen begini. Jadi mau nulis lagi hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah jadi penasaran dengan cerita sepiring batagornya mbak steff

      Hapus
  7. Congratulations ya... Bu gurunya pinter, muridnya tentunya juga pinter.
    Cerita bilingualnya sungguh indah dan sangat menyentuh.

    BalasHapus
  8. Masya Allah, sweet banget ceritanya Mbak. Aku selalu suka cerita hubungan persaudaraan yg sweet seperti ini. Sama halnya aku buat pictbook juga dari cerita dua anakku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah jadi pengen baca pictbooknya mbak emmy. Sukaa banget kalau kisahnya tentang kakak beradik yg rukun gitu

      Hapus
  9. Keren Mbak bukunya. Covernya juga cakep banget. Aku keingetan temen yang orang tuanya jualan bakso... trus baru ngeh dia orang Wonogiri juga x_x

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata terbukti .. :) orang tua murid di sekolah kami beberapa memang perantau,mbak

      Hapus
  10. Mie ayam dari Wonogiri memang khas, saya juga suka :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasanya ngangeni . Terimakasih sudah mampir membaca cerita kami.

      Hapus
  11. Mbak, hatiku langsung meleleh membaca cerita Semangkuk Mie Ayam ini.
    Lama banget nggak baca cerita seperti ini.
    Mbak Dewi boleh beli bukunya,kah?
    Atau ada cerita lain kah selain cerita Semangkuk Mie Ayam ini?
    Huaa saya jadi inget masa kecil dulu sering baca cerita seperti ini di majalah Kuncup alm ibu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayang bukunya cuma dicetak secara terbatas untuk keperluan literasi sekolah saja :) dananya dari sekolahan juga sih.
      Terimkasih sudah menyukai cerita kami.

      Hapus